Mencabut Hak Politik

260

KIRANYA layak ditengarai banyak kalangan yang sulit dibikin jera. Kesimpulan spekulatif itu muncul begitu saja, saban terjadi dua perkara, gempa bumi dan korupsi. Wilayah berpotensi gempa secara ilmiah sudah diketahui. Yang tidak diketahui kapan gempa terjadi.

Namun, gempa tidak membuat jera. Orang kembali bermukim di tempat semula, membangun rumah kembali seperti sebelumnya. Bukan rumah tahan gempa. ‘Gempa’ lain di negeri ini ialah korupsi. Malapetaka buatan manusia itu pun tidak membuat jera sekalipun banyak yang telah mengalami petaka, masuk penjara. Wilayah berpotensi korupsi pun sudah diketahui.

Yang tidak diketahui, siapa pelakunya, sampai tertangkap KPK. Yang fenomenal terjadi bukan korupsi yang dilakukan pejabat karier atau pejabat hasil political appointee, melainkan korupsi yang dilakukan pejabat publik produk demokrasi, yaitu anggota DPR/DPRD dan kepala daerah.

Pernyataan itu bernuansa paradoks, demokrasi mempersubur korupsi. Sistem otoriter membunuh kontrol, demokrasi menegakkan kontrol. Kenapa yang terjadi sebaliknya, korupsi yang tidak terkontrol, bahkan lepas kontrol? Korupsi sepertinya tidak berurusan dengan pencegahan. Ia berurusan dengan penindakan, penghakiman, dan penghukuman.

Namun, hukuman penjara tidak cukup menimbulkan ‘pelajaran sosial’, yaitu efek jera di dalam sistem sosial. Penjara sebagai lembaga kemasyarakatan bagi koruptor tidak membiakkan ‘pelajaran kemasyarakatan’, pejabat hasil demokrasi malu korupsi. Apa pasal?

Sebagian penyebabnya hukuman penjara dapat berkurang karena mendapat remisi. Sebagian lain karena ada penjara berfasilitas enak dan longgar, ekstremnya dapat berakhir pekan di rumah sendiri. Boro-boro jera, terpidana korupsi itu membayar aparat, alias malah turut berperan memproduksi penyalagunaan wewenang.

Karena itu sangat penting jaksa juga menuntut pencabutan hak politik, sebagaimana kini terjadi terhadap M Sanusi, anggota DPRD DKI Jakarta, yang hartanya berupa apartemen, rumah, bangunan, dan mobil mewah senilai Rp45,28 miliar yang juga dituntut untuk disita.

“Terdakwa sudah mencederai kepercayaan publik dan memperbesar ketidakpercayaan publik terhadap DPRD Jakarta,” kata jaksa Ronald Worontika. Jelaslah sangat menggembirakan bila hakim mengabulkan tuntutan jaksa, memvonis mencabut hak politik siapa pun koruptor yang menjadi pejabat publik sebagai produk demokrasi. Bahkan, bila hal itu tidak terdapat dalam tuntutan, hakim merdeka membuat putusan.

Pencabutan hak politik itu kiranya mengingatkan mereka pertanyaan esensial yang dilupakan, siapakah rakyat itu? Rakyat bukan sebuah fiksi yang dapat dilupakan begitu saja, dan menjadi real, teringat begitu saja lima tahun sekali, di hari pemilu. Rakyat juga bukan dongeng, dongeng yang sempurna sekalipun. Mencederai kepercayaan rakyat jelas pelanggaran berat dalam demokrasi.

Karena itu, hukuman berat harus ditimpakan, hak politik dicabut minimum seumur pemilu. Namun, baiklah publik mewaspadai akal-akalan pembuat undang-undang, bahwa pencabutan hak politik suatu hari juga bisa mendapat remisi, sedemikian rupa sehingga begitu keluar penjara bisa langsung ikut pileg atau pilkada. Mengatakan itu semua, mempertegas DPR bukan lembaga dongeng, akal-akalan di situ pun bukan fiksi.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.