Mengkritik Pemerintah

0 532

MENKO Polhukam bicara tentang kritik. Katanya, pemerintah sama sekali tidak antikritik. Kritik saja keras-keras.

Indonesia negara demokrasi. Semua orang boleh melontarkan kritik. Saudara boleh bicara apa saja, ucapnya. Akan tetapi, jika pemerintah menjawab kritik dengan data, jangan dibilang antikritik.

Sesungguhnya banyak pengkritik pemerintah, di antaranya ada mantan menteri, mantan sekretaris kementerian, dan mantan dosen. Kritik tak hanya ditujukan kepada pemerintah, tetapi juga khusus kepada Presiden Jokowi.

Ada pengkritik yang di matanya semua yang dilakukan pemerintah jelek. Tak ada yang bagus. Kritik umumnya disampaikan melalui media sosial.

Ini contoh kritik mantan menteri melalui Twitter. ‘Mau dibawa ke mana RI? Surat utang bunganya semakin mahal. Untuk bayar bunga utang saja, harus ngutang lagi. Makin parah. Makanya mulai ganti strategi jadi ‘pengemis utang bilateral’ dari satu negara ke negara lain, itu pun dapatnya recehan. Itu yg bikin shock’.

Kritik itu ditanggapi di platform yang sama: ‘Cocok deh bapak jadi presiden, pasti kalau bapak jadi presiden RI gak ada utang luar negeri semua rakyat sejahtera. Ayo pak maju jadi presiden. Jangan alasan saya gak mau karena bla bla bla’.

Di Twitter, mantan dosen menulis: ‘Pakaian adat dengan kelakuan biadab. Ya, bernilai sampah’. Cicitan itu dijawab: ‘Saya tidak benci Jokowi, benci itu urusan pribadi, orang yang membenci itu mentalnya rusak! Tapi sekarang tweet Anda kepada presiden Jokowi bukan mengkritik kebijakannya, tapi mengkritik kepribadiannya. Fokus saja sebagai oposisi dalam kebijakannya’.

Tanggapan lain: ‘Memang tweet Anda tidak tertuju langsung ke orangnya, tapi orang yang tidak intelektual pun tau apa dan siapa yang Anda maksud dalam tweet’. Ia lalu mengatakan agar tetap kritis terhadap pemerintahan Presiden Jokowi. Bukan terhadap pribadi Jokowi.

Demikianlah kritik mantan menteri dan mantan dosen itu mendapat tanggapan kritis juga di Twitter. Satu penanggap menantang sang mantan menteri untuk menjadi presiden. Ide bagus, tapi adakah partai yang percaya untuk mengusungnya?

Penanggap yang kedua dapat membedakan mana urusan pribadi, mana urusan kebijakan. Dia malah menganjurkan sebagai oposisi fokus saja terhadap kebijakan. Sebuah anjuran yang menunjukkan dirinya lebih cerdas daripada sang mantan dosen.

Pengkritik itu masih terus mengkritik pemerintah maupun Jokowi hingga saat ini. Mereka tidak ditangkap polisi. Mereka bebas berpikir, bebas berpendapat, bebas bersuara. Orang pun bebas berpikir dan bebas pula menanggapinya.

Pemerintah jelas perlu dikritik. Kontrol diperlukan agar yang berkuasa tidak nyeleweng, tidak menyimpang. Terlebih kini tak terdengar lagi ‘suara-suara keras’ di DPR.

Mayoritas di DPR ialah partai pendukung pemerintah. Partainya punya menteri di kabinet. Itu semua diperlukan demi tegaknya pemerintahan yang kuat, berhadapan DPR yang terlalu kuat–akibat reformasi.

Salah satu produk reformasi yang kebablasan ialah bukan hanya parlemen terlalu kuat, melainkan juga dapat ‘seenaknya’ terhadap pemerintah. Itu sebabnya Presiden perlu dan penting membangun koalisi mayoritas di DPR. Akan tetapi, pemerintah yang kuat pun dapat ‘kebablasan kebijakannya’ bila tidak dikontrol. Tanpa kontrol, tanpa dikritik, di dalam berkuasa orang kiranya mudah menyalahgunakan kekuasaan.

Lagi pula demokrasi dapat mati dengan sendirinya tanpa kritik. Di alam demokrasi, pemerintah yang jujur tentu suka akan kritik yang keras dan miring sekalipun.

Leave A Reply

Your email address will not be published.