Agus Yudhoyono

291

AGUS Harimurti Yudhoyono, calon Gubernur DKI Jakarta nomor urut 1, dikecam di media sosial sebagai pengecut, takut berdebat. Ada yang membahasakannya, “Berani nya cuma lompat-lompat saja.” Semua itu gara-gara Agus dua kali tidak muncul dalam debat yang diselenggarakan dua stasiun televisi, Net TV dan Kompas TV.

Agus lebih memilih mendatangi warga ketimbang tampil di layar kaca. Beberapa jam sebelum debat di Kompas TV, Kamis (15/12), Agus masih berada di bilangan Cipete, Jakarta Selatan. Katanya, “Saya tidak hadir, masih dengan rakyat. Saya masih di sini. Saya memilih untuk menyibukkan diri bersama rakyat, mendengarkan langsung aspirasi masyarakat.”

Sebelumnya, Agus tidak menghadiri acara ulang tahun Mata Najwa, Metro TV, yang mengundang semua pasangan calon gubernur Jakarta. Hanya pasangan Agus-Sylviana Murni yang absen. Tiga kali tidak datang di tiga stasiun televisi itu membuat ia dinilai sebagai pecundang. Agus ditengarai punya pengalaman buruk dengan Najwa Shihab.

Ia dicecar pertanyaan yang tidak enak, antara lain, kalau Agus bukan anak mantan presiden yang sekarang ketua umum parpol, “apakah kira-kira ada yang mencalonkan Anda, Mas Agus?”
Sebetulnya menjadi sangat menarik publik bila saja Agus menjawabnya juga dengan mengajukan pertanyaan senada dan substansi sama kepada Najwa.

Kalau Puan Maharani bukan anak mantan presiden yang sekarang ketua umum parpol, “menurut Mbak Najwa, apakah kira-kira ada yang mencalonkannya menjadi menteri koordinator?” Apa kira-kira jawaban Najwa? Terdapat kemungkinan Agus membalikkan jawaban itu, sebagai juga jawabannya.

Simulasi pertanyaan itu hanya ingin menunjukkan pertanyaan itu normal belaka dalam jurnalisme, untuk siapa pun yang punya riwayat istimewa, karena punya orangtua istimewa. Bahkan, kiranya itu pun pertanyaan biasa dalam kehidupan orang biasa. Apakah kira-kira Najwa Shihab akan menjadi host program istimewa kalau ia anak petani, bukan anak orang istimewa bernama Quraish Shihab?

Agus berhak menolak ikut debat partikelir. Sebaiknyalah seseorang yang mendadak menjadi warga masyarakat sipil memanfaatkan waktu relatif pendek untuk mendengarkan tuntutan-tuntutan khusus yang hidup di tengah warga. Bukankah merupakan prasyarat demokrasi seorang calon kepala daerah serbatahu program kepublikan yang dibutuhkan warga?

Agus berpacu dengan waktu untuk secepat-cepatnya memiliki jam terbang kepublikan tinggi. Dengan demikian, ia punya bekal menghadapi debat publik yang resmi, yang diselenggarakan badan negara, KPUD. Di situlah warga yang dalam demokrasi dihormati punya hati dan akal sehat, memberi penilaian persoalan-persoalan kepublikan kepada Agus Yudhoyono.

Debat publik jelas salah satu ajang untuk memperoleh dukungan publik. Pemilik suara berkesempatan membandingkan program kepublikan yang dijajakan setiap kandidat. Bukan hanya rasionalitasnya, juga moralitasnya. Apakah program itu masuk akal, apakah anggarannya tidak dikorup?

Karena menyangkut rasionalitas dan moralitas, diperlukan keberanian untuk mengungkapkannya kepada publik, yang notabene masyarakat sipil. Memang yang memberi kekuasaan itu masyarakat sipil, bukan perintah komandan. Agus Harimurti Yudhoyono, 38, seorang terpelajar menyandang dua gelar master dari universitas terkemuka di Singapura dan AS.

Bidang studinya sangat relevan, yaitu strategi dan administrasi negara. Lupakan pangkat mayornya. Setelah ‘membumi’ bersama masyarakat warga, setelah tidak ‘mengobral’ diri dalam debat partikelir, siapa tahu dalam debat resmi yang tidak bisa tidak harus dihadapinya terjadi kejutan persepsi publik. Bukankah Agus sudah basah? Mandi sekalian.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.