Calon Tunggal Pilpres

264

KOMPETISI sebagai salah satu dinamika penting demokrasi lenyap sudah di tangan Mahkamah Konstitusi.

Dengan alasan untuk menjamin dan melindungi hak rakyat, dalam pilkada calon tunggal diperkenankan.

Pertanyaannya, apakah pilpres kelak juga dapat digelar dengan calon tunggal?

Apa pun pikiran besar yang menjadi argumen MK dalam memutuskan pilkada dapat diselenggarakan dengan calon tunggal kiranya juga dapat diterapkan untuk memperkenankan pilpres dapat digelar dengan
calon tunggal.

Marilah kita memandang MK, sebagai pengawal konstitusi, memiliki pikiran besar untuk menjamin dan melindungi hak konstitusional rakyat, sekalipun belum tentu MK memiliki nyali besar yang sama bila terjadi permohonan judicial review pilpres agar dapat digelar dengan calon tunggal.

Berpikir besar belum tentu bernyali besar. Bahkan ciut nyali dapat mengerdilkan pikiran besar.

Dari sudut pandang hak konstitusional, contohnya, tersedia pikiran besar untuk mendukung argumentasi mengabulkan permohonan perkawinan warga berbeda agama.

Akan tetapi, dikatakan atau tidak, kerawanan yang mungkin ditimbulkan telah menyebabkan MK menolaknya sebagai judicial review dan menyerahkannya ke dalam domain legislative review.

Dimensi dan dampak pilkada tentu tidak sehebat dimensi dan dampak pilpres.

Akan tetapi, substansi hak konstitusionalnya mestinya sama saja.

Aneh bila karena alasan dimensi ruang, yaitu yang satu ‘daerah’ yang lain ‘nasional’, pikiran besar ikut diciutkan.

Aneh sekalipun sebetulnya kita sudah terbiasa dengan ‘konstruksi’ hak konstitusional yang ‘aneh’ karena sumbernya konstitusi yang telah empat kali diamendemen memang mengandung keanehan.

MK memperkenankan pilkada diikuti calon independen, calon perorangan, tetapi tidak berlaku untuk pilpres.

Mengapa?

Karena konstitusi yang dikawal MK menyatakan hanya parpol atau gabungan parpol yang berhak mencalonkan presiden.

Bukan rakyat yang secara langsung memiliki hak konstitusional. Akibatnya, hak rakyat dalam pilkada jauh lebih hebat ketimbang hak rakyat dalam pemilihan presiden.

Padahal, pilpres memilih pemimpin untuk seluruh rakyat di seantero negeri.

Yang jelas konstitusi tidak mengatur eksplisit banyaknya calon presiden.

Adanya pasangan capres lebih dari satu hanya terbaca semata sebagai asumsi yang tersirat.

Calon tunggal pun boleh.

Jika undang-undang tidak mengizinkan, ajukanlah ke MK.

Kiranya dengan pikiran besar dan nyali besar yang sama, MK mestinya mengabulkannya, seperti calon tunggal pilkada.

Asyikkah pilkada calon tunggal?

Jangan mendahului kehendak rakyat pada pilkada serentak 9 Desember nanti.

Terlebih, senangkah rakyat hanya punya satu pasangan calon presiden?

Hak rakyat ialah menggunakan hak pilih.

Sebaliknya, hak rakyat pula untuk tidur-tidur di rumah di hari pemilihan karena tak mau ‘terpaksa’ hanya punya satu pilihan atau tak mau ‘asal’ menggunakan hak pilih.

Sebetulnya, daripada membuat rakyat ‘terpaksa’ memilih calon tunggal atau ‘asal’ menggunakan hak pilih, kembalikan lagi saja kepala daerah dipilih DPRD dan presiden dipilih MPR.

Biarlah mereka yang urus calon tunggal. Urusan rakyat ialah memilih wakilnya yang benar.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.