Kebijakan 0%

283

THE Fed, bank sentral AS, substansial berkeputusan untuk tidak ‘mengambil keputusan’. Kalau toh mau dinilai mengambil keputusan, The Fed pekan lalu kembali melakukan pembiaran atas suku bunga 0,25% yang telah berlaku 9 tahun, entah sampai kapan. The Fed membuat dunia kecele, setelah setahun lebih berharap terjadi penaikan suku bunga.

Padahal berdasarkan laporan terbit 4 September 2015, pengangguran di AS turun drastis, dari 10% pada akhir 2009 menjadi hanya 5,1%. Tiap tahun tercipta sekitar 3 juta lapangan kerja. Inflasi memang masih di bawah target 2%, yaitu 0,3% pada Juli. Akan tetapi, selain lapangan kerja dan inflasi, kiranya masih ada faktor ketiga, hanya The Fed yang tahu. Saking penasarannya, koran terkemuka The Financial Times (FT) melakukan survei terhadap 30 ekonom. Hasilnya, hanya 47% ekonom mengatakan The Fed akan menaikkan suku bunga (FT, 17/9). Ternyata benar.

Yang perlu digarisbawahi ialah The Fed menjadikan terlalu banyak faktor internasional sebagai rujukan, terutama lemahnya emerging market dan ketidakpastian perekonomian Tiongkok. Ibu Ketua The Fed, Janet Yellen, gamblang mengatakan The Fed tidak akan mengambil keputusan berdasarkan naik turunnya pasar. Karena itu, sangat beralasan The Fed menjadikan ketidakpastian ekonomi Tiongkok, yang merupakan
kekuatan ekonomi kedua dunia, sebagai fokus utama untuk ‘tidak mengambil keputusan’.

Tahun lalu Tiongkok menentukan 40% pertumbuhan global. Menurut Bank Dunia, tahun lalu Tiongkok berkontribusi 13,3% terhadap output ekonomi dunia, meningkat lebih dua kali lipat dari kurang 5% satu dekade lalu. Tapi kini raksasa ekonomi itu limbung, membuat The Fed tak mau menari mengikuti gendangnya. Selain itu, The Fed di bawah Ibu Ketua Janet Yellen tidak ingin menjadi bos moneter dunia.
Di bawah kepemimpinannya, dia hanya peduli ekonomi negaranya, AS, tak peduli ekonomi negara lain. Pesan The Fed tegas dan jelas, yaitu uruslah ekonomi negara masing-masing.

Adu cerdik dan cerdas antara The Fed dan Tiongkok tengah berlangsung entah sampai kapan. Terakhir Minggu (13/9), Tiongkok mengiming-imingi dunia bakal merombak struktur pemilikan BUMN mereka. BUMN diizinkan melakukan pemilikan campuran dengan membawa investasi privat. Hal itu katanya antara lain untuk meningkatkan corporate governance dan menyelamatkan aset. Etatisme sepertinya berubah. Contoh lain, devaluasi renminbi tidak semata agar nilai tukar lebih berorientasi pasar, tapi ditengarai juga untuk mendorong The Fed menaikkan suku bunga. Tapi Ibu Ketua Yellen tidak tergoda, apalagi ‘tertipu’.

Senjata utama bank sentral di kolong langit mana pun ialah menaikkan dan menurunkan suku bunga. Dengan suku bunga 0,25%, sedikit di atas nol, sangat terbatas ruang bagi The Fed untuk menurunkan suku bunga. Karena itu, dalam dua rapat yang tersisa tahun ini, Oktober dan Desember, masih bersemi harapan dunia bahwa The Fed bakal menaikkan suku bunga. Bahkan, masih ada yang menanti rapat Maret 2016.

Buat Indonesia, sebaik-baiknya perkara ialah menimbang dalam-dalam adanya pandangan bahwa suku bunga sekitar atau dekat 0% (near zero), tepatnya 0-0,25%, merupakan ‘kebijakan baru’ dalam moneter. Tiga bank sentral dunia kini menganutnya, yaitu AS (The Fed), Eropa (ECB), dan Bank of Japan. Kita tidak tahu sampai kapan kebijakan sekitar 0% dipertahankan. Karena itu, mestinya kita lebih tertarik menanti kebijakan Gubernur BI Agus Martowardojo dalam ‘membela rupiah’, ketimbang menanti keputusan Ibu Ketua The Fed Janet Yellen menaikkan suku bunga atau tidak. Ada pertanyaan mengusik, mengutip The Economist, kenapa rupiah terhadap dolar AS tahun ini melemah 9,8%, lebih parah ketimbang peso Filipina yang hanya 2,2%?

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.