Menyimak Pidato Megawati

0 12

MENDENGAR pidato Megawati kiranya diperlukan semacam kesabaran. Pasalnya, di tengah alur utama, beliau seketika menyisipkan, antara lain, cerita-cerita alit. Terlebih, pidato pada acara perayaan ulang tahun ke-52 PDIP, Jumat (10/1) itu, berdurasi amat panjang: 2 jam 42 menit 47 detik.

Cerita alit itu, misalnya, belum lama ini, Megawati diundang memberi ‘lecture’ di hadapan para rektor se-Rusia dan negara bagiannya. Topiknya mengenai artificial intelligence. Presiden Ke-5 RI itu bilang, tak usah dulu yang tinggi-tinggi AI. Turun saja dulu ke robot. Kalau robot rusak, apakah robot bisa memperbaiki dirinya? Pertanyaan Megawati itu disambut tepuk tangan publik di Rusia itu.

Karena tinggal di istana, Megawati suka mendengarkan perdebatan para pendiri Republik ini pada 1950-an. Mereka fasih berbahasa Belanda. Bung Hatta, Sjahrir, sekolah di Belanda. Perdebatan tak jarang disertai menggebrak meja, dengan teriakan bahasa Belanda. Begitulah cara mereka mempertahankan pendirian.

“Saya kenal baik Om Sjahrir,” kata Megawati. “Om Sjahrir tidak bermusuhan dengan Bung Karno.” Yang terjadi ialah berbeda pandangan. Bagi Sjahrir, sekolah dulu, baru merdeka. Bagi Bung Karno, merdeka dulu, baru kita yang menentukan. Om yang dimaksud, Sutan Sjahrir, tokoh Partai Sosialis Indonesia, perdana menteri pertama (14 November 1945-3 Juli 1947).

Selain menyisipkan cerita-cerita itu, di tengah berpidato, Ketua Umum PDIP itu beberapa kali menyapa wartawan. Sapaan itu antara lain menyangkut kemiskinan. Megawati mulanya bertanya kepada Gubernur terpilih Jakarta, Pramono Anung, apakah telah ke Semper atau belum. Rumah warga di bilangan Jakarta Utara itu berupa kotak-kotak kardus. Pramono menjawab, telah mendatangi 300 titik. Kata Megawati, ke sanalah mestinya wartawan ‘beranjang sana’. Di akar rumput partai, demikian Megawati, masih banyak rakyat miskin.

Megawati beberapa kali menyebut nama Butet Kartaredjasa yang hadir di acara itu. Seniman itu berpuisi. Megawati bilang, ayahnya seniman, ibunya seniwati. Dirinya pun bisa berpuisi. Meluncurlah puisi, ‘Aku menjadi begini karena dia/Aku berbuat begini…’. Apakah perlu dilanjutkan? “Bayar,” canda Megawati.

Topik utama pidato Megawati di ulang tahun ke-52 PDIP itu ialah Bung Karno. Dikisahkan, pada masa Orde Baru, Megawati berkali-kali ke Sesneg, bertanya perihal status Bung Karno. Tak ada yang berani menjawab.

Itulah masa kegelapan. Megawati yang kala itu studi di Fakultas Pertanian Unpad tidak boleh kuliah. Dia berupaya bertemu Rektor, tapi Rektor takut. Ketika bertemu, Rektor bilang agar Mega menunggu saja. “Kok rektor mengajari mahasiswanya untuk tidak bisa berpikir terang dan objektif?” kata Megawati.

Pada masa Orde Baru itu, buku-buku berisi pemikiran Bung Karno disembunyikan. Suatu hari, ada orang tua yang mendatangi Megawati, membawa buku tebal, Di Bawah Bendera Revolusi. Buku itu selamat karena ‘disimpan’ di wuwungan. “Untung enggak hancur,” ujar Megawati.

Kekuasaan kala itu memang berkehendak membumihanguskan intelektualisme Bung Karno. Hemat saya, Soeharto di awal kekuasaannya mengkhawatirkan bangkitnya kekuatan Sukarnoisme yang dapat berbalik melawan Soeharto. Karena, buku-buku berisi gagasan Bung Karno harus diberedel. Bung Karno bahkan harus ‘dikurung’ agar sang orator tak dapat bertemu dengan pengikut-pengikutnya, terutama melalui pidato-pidatonya yang ‘bernyawa’ yang dapat menyalakan kembali semangat pendengarnya. Bung Karno akhirnya ‘habis’ secara politik.

Di awal pidatonya, Megawati berterima kasih kepada pimpinan dan anggota MPR periode 2019-2024 atas surat penegasan tidak berlakunya Tap MPRS No 33 Tahun 1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Sukarno. MPR melakukan pelurusan sejarah: Bung Karno pernah berkhianat mendukung pemberontakan G-30-S/PKI tidak terbukti dan batal demi hukum. Tuduhan itu terbawa sampai beliau wafat pada 21 Juni 1970. Putri Bung Karno itu juga berterima kasih kepada Presiden Prabowo Subianto yang telah memulihkan nama baik dan hak-hak Bung Karno.

Dalam perkara ini, ada kontroversi. Presiden Jokowi, pada 7 November 2022, mengatakan bahwa penganugerahan pahlawan proklamator (1986) dan gelar pahlawan nasional (2012) kepada Ir Sukarno berarti Ir Sukarno telah dinyatakan memenuhi syarat setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara yang merupakan syarat penganugerahan gelar kepahlawanan.

Dalam pidato yang sama, Jokowi juga menegaskan kembali, Tap MPR Nomor 1 Tahun 2003 telah menyatakan Tap MPRS Nomor 33 Tahun 1967 sebagai kelompok ketetapan MPRS yang dinyatakan tidak berlaku lagi dan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut.

Pandangan Jokowi itu rupanya berbeda dengan pandangan pimpinan MPR 2019-2024, yang memandang penting mengeluarkan surat penegasan tidak berlakunya Tap MPRS No 33 Tahun 1967. Karena itulah, Megawati menyampaikan terima kasih. Pikir saya, baiklah perkara ini selesai sampai di sini untuk selama-lamanya.

Saya terkesan ketika Megawati berbicara mengenai Polri. Pemisahan Polri dari TNI dilakukan di masa Presiden Megawati. Sebuah keputusan yang memerlukan keberanian.

“Ingat kasus Sambo, nangis saya,” kata Megawati. “Pak polisi, dengerin saya. Kenapa kamu dipergunakan bukan oleh Republik ini, tapi dipergunakan orang per orang?”

Pada 23 Januari 2025, Megawati berumur 78 tahun. Katanya, dia masih tahan berpidato 4 sampai 5 jam. Apakah di kongres nanti terjadi suksesi Ketua Umum PDIP?

Ini kata Megawati: “Minta saya ketum lagi, ketum lagi… Wah terus ada yang kepingin. Gile. Mau, enggak, kalau sama yang kepingin?”

Entah siapa yang kepingin, baiklah jangan ada campur tangan kekuasaan dalam menentukan ketua umum partai.

Leave A Reply

Your email address will not be published.