Baju Hitam Jokowi Saur M Hutabarat,

0 156

SAUR M HUTABARAT – BAJU punya makna khusus bagi seorang Jokowi. Oleh karena itu, perubahan warna baju yang dipakainya dalam momentum politik tertentu kiranya mengandung makna kepublikan.

Di kala Pilpres 2014, Jokowi mengenakan baju bercorak kotak-kotak dengan warna khas. Pasangannya, cawapres Jusuf Kalla, berbaju putih. Maka tampaklah yang menonjol ialah Jokowi.

Adapun rivalnya, pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta Rajasa, sama-sama berbaju putih. Maka Jokowi tak hanya tampak berbeda dengan pasangannya, tapi yang jauh lebih bermakna ialah membuat dia berbeda sendiri di antara tiga tokoh, Jusuf Kalla, Prabowo, dan Hatta Rajasa.

Baju kotak-kotak Jokowi itu menjadi trending. Warga biasa membeli dan mengenakannya dengan rasa bangga. Bangga menjadi pendukung Jokowi yang melalui baju itu tecermin tokoh yang sederhana.

Saya sendiri menyebut baju itu sebagai lambang perjuangan memenangi pilpres. Saya mengusulkannya dalam sebuah tulisan di koran ini agar Jokowi menjadikannya baju kerja resmi dirinya sebagai Presiden RI. Tak hanya itu. Saya pun berpendapat agar nama Jokowi berlanjut dipakainya sebagai nama kepala pemerintahan sehari-hari. Bukan nama aslinya Joko Widodo yang lebih panjang dan nyaris tak ‘berbunyi’ karena itu nama Jawa yang umum.

Yang terjadi ialah baju kotak-kotak itu digantikan baju putih lengan panjang yang disingsing, yang menunjukkan kesiapan bekerja, bekerja, dan bekerja. Inilah presiden yang dengan sadar berbaju putih bersih turun ke lapangan berkotor ria karena dia bekerja. Baju putih itu pun menjadi khas diikuti para menteri.

Jokowi selalu mengenakan baju berwarna merah di setiap acara PDI Perjuangan. Dia warga banteng moncong putih. Di berbagai kesempatan, Puan dan Prananda, anak Megawati, malah tidak berbaju merah. Mereka berbaju hitam. Kiranya itu simbol mereka bukan petugas partai, tapi pemilik partai.

Baju hitam kedua anak biologis Megawati itu menjadi amat sangat eksklusif dan tentu distingtif di antara ratusan atau ribuan orang berseragam merah, termasuk Jokowi. Di situ dia utamanya bukan Presiden RI, tapi petugas partai.

Sampai kemudian saya melihat perubahan dramatis yang menghentak pikiran. Itu terjadi di perhelatan penutupan puncak peringatan Bulan Bung Karno. Pada Minggu, 25 Juni 2023, di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jokowi tidak memakai baju merah. Tumben. Dia mengenakan baju hitam. Sama dengan Puan dan Prananda. Hanya Ganjar Pranowo seorang yang berkemeja merah penuh, tanpa nuansa hitam. Apa arti perubahan hem Jokowi itu?

Hemat saya jawabnya ialah Jokowi telah memproklamasikan dirinya bahwa ‘saya bukan (lagi) petugas partai. Saya ini Presiden RI hasil pilihan rakyat’. Jokowi bersikap.

Sesungguhnya dan senyatanya Jokowi telah berubah. Dia malah gagah perkasa mengakui cawe-cawe mengenai capres demi bangsa dan negara. Saya menilai dialah de facto ketua umum gabungan partai koalisi Istana. Di dalam posisi itu, dia kian menunjukkan hatinya lebih ke Prabowo, ketua umum partai, ketimbang kepada Ganjar Pranowo, petugas partai.

Jikalau Mahkamah Konstitusi mengabulkan reviu umur calon wapres sedemikian rupa membuat usia Gibran, Wali Kota Solo dan anak biologis Presiden Jokowi, memenuhi persyaratan undang-undang, maka terbukalah pintu hadirnya pasangan kejutan dan istimewa, yaitu pasangan capres-cawapres Prabowo-Gibran. Pasangan yang ditengarai diidam-idamkan Prabowo yang diyakininya akan berhasil membawanya ke kursi presiden setelah kalah melulu.

Gerindra tidak cukup kursi untuk mengusung capres sendirian. Namun, itu bukan perkara besar bagi Jokowi dalam perannya sebagai ketua umum gabungan partai Istana.

Izinkanlah saya mengutip kembali tulisan saya berjudul Jokowi dan Penggantinya di harian ini (28/4). Jokowi telah menjadi pemimpin nasional dengan ‘seni dan taktik’ pengambilan keputusan politik yang melampaui sangkaan banyak orang.

Seni dan taktik itu malah kini bergerak menjadi cawe-cawe yang kian memperkuat posisinya menjadi king maker. Akan ada presiden penggantinya, dan siapa mengira anak biologis yang menjadi wakilnya.

Sebuah jaminan Prabowo-Gibran menjadi penerus legasi Jokowi. Apa yang salah jika dalam Pilpres 2024 ternyata lebih banyak rakyat memilih Prabowo-Gibran?

Bila meminjam pikiran James H Meisel dalam bukunya tentang mitos the ruling class, yang salah ialah demokrasi telah melenceng jauh menjadi just a way of doing things, bukan way of life.

Leave A Reply

Your email address will not be published.