Terpelajar Pasang Badan

0 27

‘Katakan padaku, di mana bisa ditemukan keadilan yang merupakan cinta yang punya mata yang melihat?’ (Nietzsche, dalam Zarathustra).

Tak banyak orang terpelajar di negeri ini yang ‘pasang badan’, membela keadilan, membela hak-hak rakyat terzalimi. Kiranya lebih sedikit lagi dari mereka yang ‘pasang badan’ itu turun ke lapangan, bahkan berkali-kali, menginvestigasi sendiri bukti-bukti penzaliman itu, lalu intens berbagi temuannya melakukan advokasi di ruang publik melalui media (sosial).

‘Pasang badan’ adalah sebutan sehari-hari untuk membahasakan seseorang yang siap memikul risiko apa pun demi membela keadilan atau kebenaran. Jelas orang yang ‘bersikap’. Itulah kiranya yang diekspresikan Muhammad Said Didu, menggunakan pernyataannya, bahwa dirinya berjuang menghentikan kezaliman penggusuran oleh pengembang PSN PIK-2.

PSN PIK-2 singkatan dari Program Strategis Nasional Pantai Indah Kapuk-2. Inilah proyek yang dinarasikan dengan nada berjualan sebagai bagian dari perluasan proyek PIK yang lebih baru. Proyek itu menawarkan hunian dan fasilitas yang lebih modern serta infrastruktur yang lebih canggih.

Adapun PIK-1 dinarasikan sebagai yang lebih dulu dikembangkan, terkenal dengan kawasan perumahan mewah dan berbagai fasilitas komersial.

Pertanyaannya, membaca semua deskripsi komersial itu, di manakah letak alasan PIK-2 dapat disebut proyek strategis nasional?

Di berbagai video yang disebarkan Said Didu tampak jelas proyek komersial berbaju proyek strategis nasional itu menggusur tanah rakyat. Rakyat dipaksa menjual dengan harga sangat murah.

Di sebuah foto terekam, orang terpelajar yang ‘pasang badan’ tersebut berdiri di depan sebuah bangunan bertuliskan, ‘KANTOR PEMBEBASAN TANAH PROYEK PT KUKUH MANDIRI LESTARI DIDUKUNG APDESI KAB TANGERANG’.

Huruf-huruf besar itu kiranya bermaksud tegas menunjukkan bahwa Apdesi (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) Kabupaten Tangerang berada di pihak perusahaan pengembang yang menggusur tanah rakyat.

Ketua Apdesi Kabupaten Tangerang Maskota kemudian melaporkan Said Didu ke Polresta Tangerang dengan tuduhan melanggar Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur larangan menyebarkan kebencian melalui media eletronik. Said Didu juga dituding melanggar Pasal 28 ayat (3) UU ITE tentang penyebaran informasi bohong lewat media eletronik yang menimbulkan kerusuhan masyarakat.

Sekretaris Kementerian BUMN 2005-2010 itu menjalani pemeriksaan selama 7 jam pada Selasa (19/11). Said Didu menjawab 30 pertanyaan. Tak dinyana, hari itu juga, sekitar pukul 15.15, datang seseorang menawarkan mediasi antara Apdesi Kabupaten Tangerang dengan Said Didu.

Alumnus IPB itu menolaknya. “Saya tidak bisa musyawarah dengan pihak penggusur rakyat.”

Orang terpelajar itu malah menyarankan daripada repot mengurusi mediasi, lebih baik Apdesi tersebut melakukan sedikitnya dua hal. Pertama, meminta konsultan menaksir harga minimum tanah rakyat. Kedua, menghitung besaran ganti rugi aset negara (jalan, irigasi, sungai, pantai, laut), yang tergusur atau tertimbun yang boleh jadi diperlakukan gratis berlindung di bawah klaim PSN (proyek strategis nasional).

Hemat saya, itu saran objektif yang mestinya membuat Apdesi Kabupaten Tangerang ‘memeriksa diri mereka’. Untuk apa, sih, para kepala desa berhimpun di sebuah asosiasi? Apakah hanya untuk membela kepentingan diri mereka, seperti berdemonstrasi menuntut masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun?

Bukankah tugas Apdesi ialah menjaga serta mengangkat harkat dan martabat kepala desa, mengawal program daerah supaya tetap berjalan demi kemakmuran desa? Bukan menjadi pendukung perusahaan pengembang yang merendahkan hak-hak rakyat. Apdesi pusat kiranya perlu mengambil tindakan terhadap anggota mereka yang malah merendahkan harkat dan martabat kepala desa.

Belajar dari kasus PIK 2 ini, sebaiknya pemerintah yang sekarang mengevalusi semua proyek yang diberi label PSN pada masa Jokowi, lalu mencabut yang topeng belaka atau dimanfaatkan sebagai tameng.

Negara ini memerlukan lebih banyak lagi orang-orang terpelajar menyuarakan keadilan. Berhentilah negara atau perpanjangan tangan-tangan pemerintah bahkan sampai di desa melakukan kriminalisasi, menggunakan pasal-pasal hukum untuk membungkam mereka yang kritis.

Saatnya negara ini bilang kepada rakyatnya: ‘Katakan padaku, di mana bisa ditemukan keadilan yang merupakan cinta yang punya mata yang melihat?’

Leave A Reply

Your email address will not be published.