Menteri Mengontrol Menteri
EMPAT bulan berkuasa, Presiden Prabowo Subianto melahirkan Danantara, sebuah korporasi raksasa milik negara. Ada yang bilang, ini ‘bayinya’ Prabowo. Lebih jauh, kata Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo, ini gagasan ayahnya, begawan ekonomi Prof Sumitro Djojohadikusumo.
Siapakah orang-orang yang duduk di puncak Danantara? Sudah ada telaah mengupas rekam jejak orang-orang itu. Ada juga yang menjawab rasa penasaran, siapakah yang menang di dalam tarik-menarik kepentingan menentukan CEO (Chief Executive Officer), CIO (Chief Investment Officer) dan COO (Chief Operating Officer) Danantara?
Saya tak tertarik membicarakan ‘orang-orang’, apakah mereka duduk di situ buah meritokrasi, buah patronase, atau buah nepotisme. Saya tertarik melihat aspek organisasi, aspek ‘nonhuman’ Danantara.
Struktur organisasi Danantara rasanya menyimpan potensi kekisruhan garis tanggung jawab. Dua dari tiga anggota dewan pengawas orang Indonesia ialah menteri, yakni menteri BUMN dan menteri keuangan. CEO-nya juga menteri, yakni menteri investasi dan hilirisasi.
Mengawasi ialah mengamat-amati dan menjaga baik-baik; mengontrol. Terjadilah keganjilan, menteri mengawasi menteri, menteri mengontrol menteri.
Kata dasar ‘pengawas’ adalah ‘awas’, alias ‘tidak meleng’; ‘waspada’. Serem juga membayangkan di puncak suatu organisasi bisnis skala raksasa, di situ ada dua pembantu presiden alias menteri yang ‘waspada’/’tidak meleng’ terhadap satu pembantu presiden lainnya yang setara kedudukannya di kabinet sebagai menteri.
Struktur organisasi Danantara menggunakan struktur organisasi lini. Salah satu jenis struktur organisasi paling dasar dengan garis wewenang yang jelas dari atas ke bawah. Orang di dalam organisasi mengetahui kepada siapa mereka melapor dan siapa yang melapor kepada mereka.
COO Danantara adalah wakil menteri BUMN yang sehari-hari di kabinet melapor kepada menteri BUMN, tetapi sehari-hari di Danantara dia melapor kepada CEO yang adalah menteri investasi dan hilirisasi yang diawasi menteri BUMN dan menteri keuangan. Tak perlu ekstracerdas untuk menyimpulkan ruwet.
Keruwetan itu bakal permanen bila tiga menteri dan satu wakil menteri tersebut nangkring di puncak Danantara sebagai ex officio. Bila terjadi reshuffle, menteri atau wakil menteri penggantinya ‘dengan sendirinya’ kembali duduk di singgasana Danantara.
Demikianlah struktur organisasi Danantara itu contoh struktur organisasi yang di dalam bahasa Jawa ngoko disebut mbulet dan bikin ‘mumet’. Pertanyaannya, kenapa yang ruwet, mbulet, dan mumet itu terjadi?
Ditengarai, semua itu akibat kencangnya tarik-menarik kepentingan elite kekuasaan yang diselesaikan dengan kompromi. Ada empat macam kompromi, tinggal publik menilai, apakah yang terjadi kompromi pragmatis, kompromi rasional, kompromi fair, atau kompromi busuk.
Kata guru manajemen Peter F Drucker, “Struktur organisasi yang paling baik tidak akan menjamin adanya hasil dan prestasi, tetapi struktur yang salah merupakan jaminan bahwa tidak akan ada prestasi.”
Sebelum nasi menjadi bubur, sebelum Danantara berlayar rada jauh, baiklah Presiden menilik ulang kedudukan ‘penghuni’ struktur organisasi Danantara di kabinet/pemerintahan atau sebaliknya sehingga tak terjadi keganjilan seperti menteri mengontrol menteri.