Sakit Hati Politik
MENYENANGKAN membaca berita (Jumat, 6/12), Presiden Prabowo Subianto menjamu makan malam Joko Widodo atau yang kerap disingkat Jokowi, presiden yang digantikannya, di kediamannya di Kertanegara, Jakarta Selatan.
Kiranya baru kali ini rakyat menyaksikan betapa akrab presiden yang tengah berkuasa dengan yang digantikannya. Akrab, bersifat personal, sedikitnya karena dua hal. Pertama, pertemuan mereka dibahasakan sebagai ‘kangen’. Kedua, makan malam itu di rumah pribadi, bukan di Istana, di kantor presiden. Tentu ada yang berpendapat, keakraban bersifat personal itu lebih kuat terjalin karena Gibran yang menjadi wakil presiden adalah anak Jokowi.
Mantan presiden yang masih hidup tinggal tiga orang: Megawati, SBY, dan Jokowi. Sejak Prabowo dilantik menjadi presiden, Prabowo dan Megawati belum pernah bertemu. Bahkan, rasanya Megawati hingga saat ini belum pernah mengucapkan selamat kepada Prabowo. PDIP yang dipimpin Megawati tak mengakui legalitas pencalonan Gibran sebagai cawapres. Mereka menggugat ke PTUN Jakarta bahwa KPU melakukan perbuatan melawan hukum karena menerima pendaftaran Gibran sebagai cawapres. Capres Ganjar Pranowo dan cawapres Mahfud MD pun tak hadir di pelantikan Prabowo-Gibran di MPR.
Dipecatnya Effendi Simbolon sebagai anggota PDIP karena bertemu Jokowi memperkuat penilaian ‘sakit hati politik’ ‘bekerja’ di balik keputusan pemecatan itu. Kiranya tak berlebihan menyimpulkan bahwa hubungan dua mantan presiden, Megawati dan Jokowi, rusak parah.
Kesimpulan itu diambil berbasis kenyataan hubungan Megawati dengan SBY yang telah menjadi pengetahuan publik. Kadar ‘sakit hati politik’ Megawati terhadap SBY kiranya lebih ringan daripada kadar ‘sakit hati politik’ Megawati terhadap Jokowi yang disebutnya sebagai petugas partai. Sebaliknya, bisa dimengerti, bila bagi Jokowi, Presiden RI hasil pilihan rakyat, ‘humiliated’ disebut petugas partai.
Dalam berbagai pidato, Presiden Prabowo menyebut gamblang jangan ada dendam politik. Omongannya itu bukan ‘omon-omon’. Buktinya, seusai resmi dilantik menjadi presiden, Prabowo menghampiri dan menyalam capres Anies Baswedan. Anies memberi hormat.
Yang lebih meyakinkan tak ada dendam politik, Presiden Prabowo bahkan mengangkat Jenderal TNI (Purn) Wiranto sebagai penasihat khusus presiden bidang politik dan keamanan. Padahal, Wiranto sebagai Menhankam/Panglima ABRI memecat Letnan Jenderal TNI Prabowo.
Izinkan saya mengambil contoh suasana kebatinan terjalin di kalangan presiden AS, sebelum Donald Trump. Suatu hari, 10 Oktober 1981, terjadi pertemuan istimewa empat presiden AS di Gedung Putih. Empat presiden itu ialah Ronald Reagan, Richard Nixon, Gerald Ford, dan Jimmy Carter. Tuan rumah pertemuan itu Ronald Reagan, presiden AS saat itu.
Mereka reuni di Gedung Putih sebelum bertolak ke Cairo untuk menghadiri pemakaman Anwar Sadat, presiden Mesir yang wafat ditembak perwira tentara fundamentalis pada 6 Oktober 1981. Penerima Hadiah Nobel Perdamaian itu dimakamkan 10 Oktober 1981.
Mesir di bawah kepemimpinan Anwar Sadat sekutu berat AS. Dapat dimengerti sampai empat presiden AS hadir di acara perkabungan kepergiannya. Presiden Reagan yang menyampaikan pidato perkabungan. Empat presiden AS itu berjalan beriringan menuju podium, disambut hangat tepuk tangan hadirin. Dengan khidmat, Nixon, Ford berdiri di sebelah kanan, Carter di sebelah kiri Reagan yang berpidato. Seusai berpidato, turun dari podium, Reagan menyalami ketiga mantan presiden AS yang mendampinginya.
Kebersamaan kala menghadiri perkabungan Anwar Sadat itu bukan satu-satunya momen presiden AS yang sedang berkuasa reuni dengan para mantan presiden AS. Pada 4 November 1991, George HW Bush, Jimmy Carter, Gerald Ford, Richard Nixon, dan Ronald Reagan bertemu di seremoni pembukaan Reagan Library di Simi Valley, California. Di situ mereka berfoto. Inilah pertama kali terjadi lima presiden AS diabadikan dalam foto.
Pada 7 Januari 2009, Presiden George HW Bush mengundang presiden terpilih Barack Obama, untuk rapat dan makan siang yang juga dihadiri Bill Clinton, Jimmy Carter, dan George W Bush. Mereka lalu berfoto di Oval Office, ruang kerja resmi presiden AS.
Tiga episode itu kiranya cukup melukiskan kebersamaan presiden AS yang sedang berkuasa dengan presiden-presiden AS sebelumnya. Mereka berbeda partai. Mereka bersaing dalam pemilihan presiden. Yang membekas abadi bukan persaingan, melainkan kebersamaan manusia pilihan sejarah karena dipercaya rakyat mereka untuk memimpin bangsa dan negara mereka.
Tulisan ini saya tutup dengan anjuran. Indah kiranya jauh hari Presiden Ke-8 RI Prabowo mengundang Presiden Ke-5 RI Megawati, Presiden Ke-6 RI SBY, dan Presiden Ke-7 RI Jokowi untuk makan bersama di Istana, 1 Januari 2025, mengawali tahun baru yang semoga cerah bagi bangsa dan negara ini.
Hemat saya, harap maklum bila ada yang ‘berhalangan’ hadir.