Hukuman Mati Jilid Terakhir

262

HUKUMAN mati, hukuman yang semestinya paling menakutkan, ternyata hukuman yang paling molor.

Padahal Jaksa Agung sebagai eksekutor selalu siap melaksanakannya, bahkan telah membuktikan rapi mengeksekusi mati.

Di tengah maraknya kejahatan narkoba, orang kembali terpikirkan bagaimana kelanjutan pelaksanaan hukuman mati yang dibahasakan harian ini sebagai hukuman mati jilid IV.

Jaksa Agung menjawab tegas.

Katanya, “Untuk hukuman mati yang sudah inkracht dan semua hak hukum terpidana sudah terpenuhi, eksekusi akan kita laksanakan. Selama ini mereka memanfaatkan perkembangan hukum baru. Itulah persoalannya.”

Perkembangan hukum baru itu berupa peninjauan kembali boleh lebih dari satu kali dan pengajuan grasi tanpa batas waktu sehingga eksekusi mati tidak dapat dilaksanakan.

“Jangan nanti setelah dieksekusi, ada PK dan ada putusan pengadilan soal tenggat (waktu) berbeda, kan tidak bisa dihidupkan lagi (nyawa terpidana mati).”

Hukuman mati juga dirundung pro dan kontra di dalam dan luar negeri. Sekalipun di dalam negeri kita punya kedaulatan hukum, pertimbangan hubungan kenegaraan bilateral dapat berakibat molornya eksekusi mati warga suatu negara.

Hukuman mati termaktub dalam hukum positif kita. Jaksa sah menggunakannya dalam penuntutan, hakim pun sah menjadikannya putusan.

Tapi hemat saya, kendati hukuman mati masih tertera dalam hukum positif yang berlaku, sebaiknya hukuman mati ditidurkan saja.

Memakai bahasa klise, hukuman mati dimoratoriumkan saja, baik dari sisi kekuasaan penuntutan maupun kekuasaan kehakiman.

Dia ada, tetapi marilah dibikin tiada.
Sebaiknya tidak ada lagi produksi terpidana mati, cukuplah yang telah diputuskan selama ini.

Setelah semuanya dieksekusi mati, tidak ada lagi hukuman mati jilid baru.

Ajakan itu tentu beralasan perspektif hak asasi manusia, bahwa orang punya hak untuk hidup.

Lagi pula kian lama dalam sejarah kemanusiaan, negara yang masih menerapkan hukuman mati menjadi negara minoritas di kolong langit peradaban.

Alasan lain, terus terang saya makin tidak percaya ada korelasi hukuman mati dengan efek jera.

Hukum bergerak di jalurnya sendiri, narkoba pun bergerak dengan hukum penawaran dan permintaannya sendiri.

Kian gencar BNN memerangi kejahatan narkoba, termasuk menangkapi selebritas pengguna narkoba, semakin tinggi nilai ekonomi yang terbongkar yang kiranya lebih menunjukkan puncak gunung es.

Di dasar tidak tersentuh. Di mana efek jera bekerja?

Kiranya bukan hanya kejahatan narkoba yang tidak mempan efek jera, korupsi pun begitu.

Kian gencar KPK menangkap koruptor, semakin tebal yang tidak takut korupsi.

Kehebatan KPK melakukan OTT tidak menurunkan indeks korupsi.

Karena itu, sama halnya terhadap narkoba, hukuman mati pun tidak membuat orang takut korupsi.

Dua jenis penjahat itu (narkoba dan korupsi) tampaknya tidak takut mati.

Sebaliknya, mereka takut hidup.

Bagi mereka, kayaknya lebih menakutkan dijatuhi hukuman seumur hidup.

Membayangkan sampai mampus di penjara lebih menggergaji nyali mereka ketimbang ditembak mati, yang sekali terjadi, setelah itu derita selesai.

Karena itu, hukuman mati jilid terakhir perlu segera dilaksanakan. Setelah itu, sekalipun hukuman mati masih tertera dalam hukum positif, ditidurkan saja.

Hukuman paling berat ialah hukuman seumur hidup. Jika hakim masih memutus hukuman mati, sebaiknya Presiden menggunakan hak prerogatifnya, yaitu mengabulkan permohonan grasi hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.

Setelah itu, yang perlu dipikirkan, di sebuah pulau terluar dibangun penjara khusus seumur hidup.

Mereka masih hidup, tetapi contoh yang hidup yang bikin jera.

Bandingkan penjahat narkoba atau koruptor yang sudah dieksekusi mati, yang bersama kematiannya itu mati pulalah efek jera.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.