Sekolah tanpa Pekerjaan Rumah

282

DI awal tulisan ini kiranya perlu berterus terang bahwa penulis setuju dengan kebijakan baru lima hari sekolah, Senin sampai Jumat. Sabtu libur sehingga anak dapat berakhir pekan yang cukup bersama orangtua/keluarga. Guru bukan mesin. Mereka pun perlu waktu longgar untuk ‘bernapas’. Mereka juga perlu berakhir pekan bersama keluarga. Guru pun perlu waktu untuk mengisi ‘baterai’, membaca buku.

Kebijakan lima hari sekolah itu dicapai dengan menambah jam sekolah yang selama ini 5-6 jam per hari menjadi 8 jam. Secara umum, masuk sekolah pukul 07.00, pulang sekolah diperpanjang dari semula pukul 13.00 menjadi pukul 15.00. Tentu saja sekolah dapat mengatur sendiri waktu masuk sekolah sesuai dengan situasi setempat. Contohnya, di sebuah permukiman terdapat tiga sekolah berdekatan.

Sekitar pukul 07.00 terjadi kemacetan kendaraan orangtua yang mengantar anaknya. Kemacetan itu membuat anak terlambat. Sebuah sekolah mengambil kebijakan khusus untuk TK dan SD, masuk pukul 08.00, sehingga kemacetan berkurang dan anak tidak terlambat. Lima hari sekolah bukan perkara baru. Sejumlah sekolah swasta, terutama yang menyebut dirinya sekolah internasional, telah bertahun-tahun melakukannya.

Dua hari libur dalam sepekan diterima dan dijalani sebagai perkara yang bijak. Berdasarkan fakta itu, sepanjang kebijakan lima hari sekolah bukan paksaan, bukan keharusan, melainkan diberlakukan sebagai opsi, kiranya tidak perlu ada protes. Sekolah yang belum dapat mengikuti kebijakan baru tenang-tenang saja meneruskan enam hari sekolah.

Percayalah, pemerintah tidak bakal membubarkan sekolah itu, kecuali pemerintah yang sakit, yang sinting.
Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy itu dikeluarkan di bawah judul ‘Penguatan Pendidikan Karakter’. Sebuah tema besar yang menunjukkan bahwa pertambahan jam sekolah itu bukan untuk diisi dengan materi pelajaran di muka kelas, melainkan untuk pengembangan diri anak melalui ekstrakurikuler, antara lain berkesenian. Bersekolah 8 jam sehari menyebabkan anak makan siang di sekolah.

Jika menteri berpikiran bahwa urusan makan siang itu ditanggung APBN atau APBD untuk sekolah negeri, kiranya kebijakan baru itu tidak dapat dilaksanakan di awal tahun ajaran baru ini karena belum dianggarkan. Lagi pula, hak bujet merupakan hak DPR/DPRD, yang belum tentu setuju dengan kebijakan baru. Konsekuensi terpenting lima sehari sekolah, 8 jam sehari, tidak ada lagi pekerjaan rumah.

Setiba di rumah anak sudah letih. Buruk atau baik? Bagus, bahkan sangat bagus, karena pekerjaan rumah menyita waktu anak bermain. Anak terlalu dini telah kehilangan masa kanak-kanak. Hal-hal yang menyangkut materi pelajaran dituntaskan di waktu jam-jam pelajaran di sekolah. Tidak dibawa ke rumah. Sekolah yang benar juga membuat anak tidak perlu diberi tambahan pelajaran di luar sekolah dengan berbagai les atau bimbingan belajar.

Tanpa pekerjaan rumah, tanpa bimbingan belajar, anak dapat sepenuhnya menikmati masa bermain. Itulah antara lain kehebatan pendidikan di Finlandia, yang dinilai terbaik di dunia. Sebaliknya, itulah kejelekan pendidikan di AS yang kita tiru di sini. Kenapa pukul rata harus 8 jam untuk semua jenjang sekolah? Itulah pertanyaan yang belum mendapat jawaban yang meyakinkan.

Bersekolah 8 jam kiranya masih terlalu panjang untuk sekolah dasar. Bukan pula alasan yang tepat bila yang dijadikan patokan bahwa guru harus bekerja 8 jam/hari, sebagaimana harusnya aparatur sipil negara atau buruh pabrik. Sebagai perbandingan, dosen di perguruan tinggi (negeri) umumnya tidak bekerja selama itu. Yang jelas, belajar mestinya perkara yang menyenangkan, bukan beban yang menakutkan.

Bersekolah bukan seperti masuk penjara. Kehidupan di sekolah kiranya salah satu masa yang terbaik dan terindah dalam kehidupan seorang anak bangsa, anak manusia umumnya. Ke sanalah mestinya penguatan kognisi, afeksi, serta pendidikan karakter berlabuh.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.