DPR sebagai Lembaga Privat

259

SETELAH mundur berkali-kali dari jadwal, hari ini DPR ‘dikabarkan berencana’ mengambil keputusan mengenai RUU Pemilu.

Saya membahasakannya sebagai ‘dikabarkan berencana’ karena di DPR tidak ada disiplin mengenai jadwal.

Molor, mundur, telat, itu bagian hidup mereka.

Penyebabnya macam-macam. Pertama, boleh jadi parlemen merupakan himpunan mayoritas orang pemalas berbuat, pemalas bekerja.

Mereka umumnya orang-orang yang rajin omong, rajin isi absen, rajin tanda tangan, lalu kabur.

Kedua, yang rajin hadir kayaknya malas berpikir. Apakah hasil kombinasi malas bekerja dan malas berpikir?

Terjadi ‘pending matters’, penumpukan tunggakan tugas/pekerjaan yang kemudian dikebut penyelesaiaannya.

Hasilnya, legislasi yang buruk.

Ketiga, faksi-faksi elite di DPR merupakan himpunan orang-orang yang rajin berbuat dan rajin berpikir.

Salah satunya berupa lobi-lobi yang intensif.

Akan tetapi, kenapa hasilnya mentok, macet, buntu? Publik tidak tahu mutu lobi-lobi yang berlangsung di dalam pintu-pintu tertutup.

Yang dilobikan dianggap rahasia atau misteri bagi publik.

Elite DPR menjadikan dirinya orang-orang misterius, dengan hasil sangat serius bagi KPK.

Ada baiknya lobi-lobi itu direkam dalam CCTV. Lalu hasilnya dianalisis dalam FGD yang independen dan berwibawa.

Temuannya mungkin mencengangkan publik, yaitu masih ada anggota DPR yang rajin berpikir, tapi mereka gagal keluar dari ‘sekat-sekat’.

Ternyata mereka tetap berpikir sebagai faksi-faksi, bukan DPR sebagai lembaga publik, wakil rakyat.

Di parlemen seyogianya terjadi depersonalisasi. Nyatanya derajat kepublikan DPR kian nihil.

Parlemen kian mengalami personalisasi, dipersonalkan menjadi lembaga privat.

Posisi kepublikan dan keprivatan ditentukan kepentingan aktual.

Contohnya, DPR ialah rumah rakyat yang punya otoritas negara untuk menerima demonstran sekalipun demonstrasi itu hendak menurunkan pemerintahan yang sah.

Sebaliknya, DPR rumah privat, yang atas nama otoritas negara melarang masuk demonstran antihak angket KPK.

RUU Pemilu telah menjadi ajang pertarungan privat, yaitu kepemilikan properti partai-partai versus pemerintah dan partai-partai yang setuju dengan pemerintah.

Orisinalnya RUU Pemilu merupakan inisiatif pemerintah.

Kemacetan pembahasan menimbulkan penilaian kritis bahwa inisiatif pemerintah itu tanpa disertai dengan desain besar.

Padahal, yang terjadi ialah semata pertarungan ‘properti’.

Dalam konteks ambang batas presiden, pemerintah sekarang harus dibaca sebagai (pemerintahan) Jokowi yang bakal maju kembali pada Pilpres 2019.

Kendati pemerintah tetap mengidealkan persyaratan yang berlaku (ambang batas presiden 20% kursi DPR atau 25% perolehan suara), yang didukung sejumlah partai, sebaliknya yang lain melihat terbukanya peluang (gara-gara putusan MK pemilu serentak) untuk membuat ambang batas 0%. Apa pun perkaranya, nyatanya pertarungan pencalonan pilpres telah dimulai ‘gara-gara’ inisiatif pemerintah.

Tentu saja partai pemilik properti privat itu berhitung untung rugi masing-masing.

Betapa naifnya pemerintah bila tidak mengantisipasinya. Yang ideal bagi pemerintah, tidak ideal bagi oposisi. Kata Jokowi, kapan politik negara ini membaik?

Kalau dulu sudah 20 (persen), masak kita mau kembali ke nol (persen). Kira-kira apa kata kubu Prabowo atau kubu SBY?

Koalisi paling mesra Gerindra dan PKS mencapai 18,60%.

Keduanya tidak bisa mencalonkan presiden. Sebagai penyeimbang, publik tidak tahu dengan partai mana Partai Demokrat berkoalisi paling mesra.

Yang jelas sendirian (10,19%), ia tidak bisa mencalonkan presiden.

Bagaimana dengan PKB (9,04%) dan PAN (7,59%)? PPP (6,53%) biarlah urus konflik internal. Sesungguhnya tidak mengherankan jika lantaran kepemilikan privat partai-partai itu, mereka berkutat pada ambang batas 0%, menolak 20%.

Jika itu yang terjadi melalui voting hari ini, tidak ada lagi alasan untuk dibawa ke Mahkamah Konstitusi.

Bila yang terjadi sebaliknya, entah 7% atau 20%, sama saja di mata MK.

Betapa menggelikan dari segi akal sehat, perkutatan di DPR itu bakal ditebas MK begitu saja.

Jangan lupa, tugas MK memutuskan sesuai konstitusi menurut tafsir mereka, bukan memikirkan akibatnya.

Bukankah persoalan ambang batas presiden terjadi akibat putusan MK pemilu serentak?

Bukankah disesali MK mencabut kewenangan pemerintah membatalkan perda? MK harus makan nangkanya, getahnya urusan lain.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.