Lidah,Ludah,Iler

229

LIDAH bisa menyembunyikan kebenaran. Lidah bahkan bisa membengkokkan kebenaran. Itulah lidah yang nyaring terdengar dalam perebutan jabatan di Dewan Perwakilan Daerah. Nyaring lidah yang pertama dilontarkan pemangku jabatan di Mahkamah Agung. Mengapa Wakil Ketua MA melantik pimpinan baru DPD? Bukankah itu meniadakan amar putusan MA sendiri yang membatalkan pembagian masa jabatan 2,5 tahun? Jawab sang lidah, semuanya kembali kepada pimpinan karena mereka memiliki diskresi. Yang jelas putusan yang memiliki kekuatan hukum itu sudah ditetapkan.

Demikian pernyataan juru bicara MA, yang menunjukkan hebatnya lidah. Hebat? Ini penjelasannya. Pimpinan MA punya diskresi, alias punya hak istimewa.
Dihubungkan dengan amar putusan MA dan pelantikan pimpinan DPD oleh pimpinan MA, berarti hak istimewa pimpinan MA itu dapat/boleh menabrak putusan MA yang memiliki kekuatan hukum. Apakah lidah tidak bertulang? Salah. Bertulang amat keras. Semua itu lidah MA. Bagaimana dengan lidah DPD? Alkisah ada tatib yang isinya mengatur perihal masa jabatan pimpinan DPD 2,5 tahun. Tatib dibatalkan MA.

Bersidanglah DPD melaksanakan perintah MA itu, kembali ke tatib masa jabatan 5 tahun. Kemudian dibuat tatib baru dalam sidang DPD yang dipimpin anggota tertua dan termuda (seperti awal terbentuknya DPD hasil pemilu), yang substansinya kembali mengesahkan tatib 2,5 tahun. Dengan dasar itu dipilihlah pimpinan DPD yang baru, yang kemudian dilantik pimpinan MA yang punya diskresi. Kata lidah anggota yang tertua di DPD, apa yang salah? Tidak ada aturan yang dilanggar sebab putusan MA telah dilaksanakan, lalu mengesahkan tatib yang baru. Apakah lidah tidak bertulang?

Salah. Bertulang sangat keras. Masih ada satu lidah lagi, yaitu lidah yang kini berkuasa menjadi Ketua DPD. Pimpinan DPD yang baru terpilih lebih bisa menunjukkan kinerja nyata untuk mewakili aspirasi daerah. Pimpinan DPD sah menurut hukum. Buktinya? MA datang untuk melantik. Apakah lidah tidak bertulang? Salah. Bertulang keras sekali. Adapun lidah pimpinan DPD yang lama, yang telah tergusur, tinggal lidah-lidahan. Tak jelas pula bertulang atau tidak. Siapa di MA yang mendengar, apalagi mengindahkan, permintaan lidah mereka agar MA tidak datang melantik pimpinan DPD yang baru?

Siapa yang menghiraukan lidah-lidahan perihal ilegal, inkonstitusional, MA mengingkari amar putusannya sendiri? Jangan ajari MA untuk bermain lidah, apalagi bersilat lidah. Lidah memang mengeluarkan ludah. Akan tetapi, tidak ada urusan dengan menjilat ludah sendiri. Kenapa? Karena merupakan diskresi pimpinan untuk menjilat ludah sendiri. Yang bukan pimpinan jangan panjang lidah, komentar ke sana kemari. Terlebih jangan ajari politisi yang duduk di DPD bersilat lidah. Lidah mereka licin benar. Lidah itu lebih banyak memproduksi air liur daripada air ludah.

Mereka lebih suka ngiler ketimbang meludah. Salah satu ekspresi ngiler ialah menetesnya air liur akan takhta, kekuasaan kepublikan, di hadapan publik. Itulah iler akan jabatan, 2,5 tahun memimpin DPD. Bukankah jabatan kudu dibikin arisan? Gantian dong. Lidah, ludah, dan iler sedang berjaya di dua lembaga negara yang bernama Dewan Perwakilan Daerah dan Mahkamah Agung. Apakah publik jijik melihat iler kekuasaan itu? Apakah publik jijik melihat ludah dijilat kembali?

Maaf, salahnya publik masih bisa jijik. Saya termasuk di dalamnya. Untuk mengurangi mual secara personal, biarlah institusional, tidak seorang pun yang punya lidah namanya disebut dalam tulisan ini.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.