Pribumi

296

SEJUMLAH orang secara terbuka di jalan raya menempel stiker pribumi di mobil-mobil. Semua itu memperkuat isu bahwa selain urusan agama, dalam pilkada Jakarta juga digoreng isu pribumi.

Isu agama dan pribumi itu jelas ditujukan kepada Ahok. Perkara agama sedang diadili, berlangsung fair. Publik bahkan dicerahkan dengan rupa-rupa saksi ahli yang meringankan, yang dengan otoritas masing-masing intinya menyatakan bahwa Ahok tidak melakukan penistaan agama.

Yang paling pokok ialah kebebasan hakim dalam menyidangkan dan memutus perkara. Kekuasaan kehakiman tidak direcoki kekuasaan pemerintah dan legislatif, juga tidak goyah ditekan kekuasaan komunal. Majelis hakim menunjukkan kualitas itu.

Upaya melemahkan posisi Ahok, sebagai petahana Gubernur Jakarta, pun gagal. Ahok tidak dimasukkan ke penjara. Ahok pun tidak diberhentikan sementara sebagai Gubernur Jakarta. Mahkamah Agung menghormati pengadilan. Presiden dan pembantunya, menteri dalam negeri, pun menghormati undang-undang.

Di tingkat negara dalam menegakkan hukum, semua berjalan sesuai dengan negara hukum, bukan negara kekuasaan. Di tingkat warga, pilkada Jakarta putaran pertama berjalan damai, dengan hasil pasangan Ahok-Djarot meraih suara terbanyak mengalahkan pasangan Anies-Sandiaga dan Agus-Sylvi.

Putaran pertama itu menunjukkan bahwa di tingkat warga yang berhak memilih, faktor agama tidak membuat Ahok kalah. Warga memilih dengan rasional, terutama berbasiskan bukti nyata, yaitu kinerja kepublikan dan tegaknya pemerintahan yang bersih/antikorupsi.

Akan tetapi, saat memasuki putaran kedua, isu agama itu berpindah lebih gencar dari tekanan di sisi negara ke sisi warga secara langsung. Isinya provokasi, jenazah pemilih Ahok tidak disembahyangi. Isu itu pun gagal karena menyembahyangi jenazah perkara wajib dan ada komponen anak bangsa yang siap melakukannya.

Yang tersisa ialah isu rasialisme. Muncul upaya menempel stiker pribumi di mobil-mobil. Anak bangsa diajak mundur. Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, hendak dikerdilkan dan dikempeskan menjadi hanya satu, yaitu pribumi, bukan satu Indonesia, NKRI, dengan anak bangsa yang beraneka ragam.

Semua isu diskriminasi itu dibiarkan oleh Anies-Sandiaga. Publik tidak melihat bahwa Anies-Sandiaga menyatakan tidak setuju dengan penggunaan semua isu tersebut, apalagi melarangnya. Orang bahkan berkesimpulan isu tersebut memang ‘direstui’ oleh Anies-Sandiaga untuk mengalahkan Ahok-Jarot.

Pilkada Jakarta mestinya menjadi forum yang memberi harapan bahwa sedikitnya ada dua orang anak muda yang bernama Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang bertarung dengan kecerdasan program dan menunjukkan sejatinya calon gubernur/wakil gubernur untuk semua warga Jakarta yang plural. Yang terjadi sebaliknya, dua orang muda itu masih harus banyak ‘belajar’ untuk menjadi pemimpin.

Pemimpin dilahirkan atau dibentuk. Yang pertama bakat alam, yang kedua bakat intelektualisme yang melewati proses pembelajaran/penempaan. Anies dan Sandiaga pasti bukan dilahirkan, bukan bakat alam. Sayang sekali, bakat intelektualisme itu belum matang benar, keburu digigit oleh gairah kekuasaan.

Kata KH Masdar Farid Mas’udi, dalam wawancara khusus dengan harian ini, “Siapa pun warga negara berhak memilih dan dipilih. Lihat kualitas kepemimpinannya, pemihakan kepada rakyat bagaimana. Itu yang paling esensial. Memang ada peran paling penting dari para pemimpin. SARA tidak boleh dibawa-bawa dalam ranah politik kalau kita mau dewasa dan NKRI bertahan. Kita boleh saja mengaku Islam, Kristen, Jawa, tapi itu di ruang privat, bukan di ruang publik.”

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.