Pungutan Ibu Susi

292

SATU-SATUNYA menteri paling menawan publik ialah
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Ia bergerak lincah,
berbicara ceplas-ceplos, spontan meminta maaf bila ada yang tak patut
menurut penilaian publik. Contoh, kebiasaannya merokok.

Sejak kementerian kelautan dan perikanan didirikan di
zaman pemerintahan Gus Dur, baru Menteri Susi di zaman Presiden Jokowi
bertindak radikal terhadap kapal pencuri ikan di perairan Indonesia. Tak
banyak cingcong dan argumentasi, tanpa proses pengadilan, ia
menenggelamkannya. Habis perkara. Dalam bahasanya sendiri, “Saya
berharap eksekusi jangan berbulan-bulan. Datang, tangkap, periksa di
lapangan tanpa proses pengadilan, amankan ABK, laksanakan
penenggelaman,” ujar Ibu Susi di Kantor Satker Pengawasan Sumber Daya
Kelautan dan Perikanan Batam, Selasa (20/10).

Tindakan itu dinilai banyak kalangan heroik. Tindakan
itu menyelamatkan pendapatan negara yang lenyap akibat illegal fishing.
Menteri Susi tidak saja menjadi media darling, tapi kekasih publik.
Bahkan, Kepala BNN yang baru, Komjen Budi Waseso ingin menirunya,
menenggelamkan kapal pembawa narkoba.

Dengan menilik kelincahan dan keberaniannya, saya tak
percaya bahwa ia enggan berdialog dengan pelaku usaha perikanan
nasional, khususnya perikanan tangkap, perihal kebijakan pemerintah
menaikkan tarif pungutan hasil perikanan (PHP) yang merupakan bagian
dari penerimaan bukan pajak. Mengapa harus berdialog? Karena pemerintah
tak kira-kira menaikkan PHP terhadap kapal penangkap ikan dan/atau kapal
pendukung operasi penangkapan ikan yang baru atau perpanjangan izin
kapal.

Bayangkanlah, PHP usaha perikanan tangkap ikan skala
kecil naik lebih tiga kali lipat dari 1,5% menjadi 5%. Yang paling
mengejutkan pemerintah menaikkan PHP untuk usaha skala besar 10 kali
lipat, dari 2,5% menjadi 25%. Sebuah lonjakan tarif tergolong
‘gila-gilaan’.

Penaikan tarif itu berdasarkan PP Nomor 75 Tahun
2015, yang diterbitkan 7 Oktober 2015, berlaku efektif 7 Desember. Di
situ diatur PHP dihitung berdasarkan produktivitas kapal, harga patokan
ikan, dan ukuran kapal. PHP tidak pernah naik sejak kementerian kelautan
dan perikanan berdiri. Karena peraturan itu diproduksi di zaman menteri
Ibu Susi, maaf, agar seksi, saya sebut saja ‘pungutan Ibu Susi’.

Penaikan tarif itu dikritik dapat melumpuhkan
pengusaha nasional. Penilaian itu sangat kontradiktif. Bukankah
penenggelaman kapal asing ilegal menunjukkan heroisme Ibu Susi, sebagai
nasionalis sejati? Tapi faktanya kini muncul ‘gugatan’ pengusaha
nasional, yaitu di atas seluruh heroisme itu, siapakah sesungguhnya yang
hendak diselamatkan Ibu Menteri dengan PP Nomor 75 Tahun 2015, yang
mencekik pengusaha anak bangsa sendiri?

Pengusaha nasional menjerit karena mereka diberondong
tiga pungutan bukan pajak, yaitu PHP yang naik, retribusi daerah untuk
ikan yang didaratkan sebesar 5% dari hasil lelang, serta pajak bumi dan
bangunan perikanan tangkap. Tak hanya rumah terkena PBB, kapal tangkap
ikan pun bayar PBB.

Sekali lagi, saya tak percaya Ibu Susi enggan
berdialog dengan pengusaha nasional yang tergabung dalam berbagai
asosiasi. Sejauh muncul ke permukaan, yang dipersoalkan bukan pembayaran
PHP di muka atau di belakang, melainkan penaikan tarif yang tak
kira-kira. Sepatutnya Ibu Susi mendengarkan mereka, bahkan menjadikannya
masukan untuk menyempurnakan keputusan.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.