Pansus Hujan

285

DUA pekan setelah ide membentuk Pansus Asap muncul di DPR, kabar gembira datang dari Kota Jambi. Melalui grup keluarga di Whatsapp, saudara-saudara kandung mengabarkan hujan turun. Itu terjadi Selasa (27/10), pukul 12.48 WIB.

Esoknya hujan kembali turun. Kemarau panjang seperti tiba-tiba sirna dalam sehari. Warga gembira menampung air hujan karena kemarau telah mengeringkan sumur mereka. Hari itu, pukul 18.14, dikabarkan asap mulai bersih.

Terus terang, sebagai orang yang lahir dan besar di Jambi, ayah bunda pun dimakamkan di sana, saya termasuk yang sebal melihat pimpinan DPR bersidang bermasker ria di ruang sejuk ber-AC, di ruang tanpa asap, dan tanpa debu.

Sementara warga terpapar asap berbulan-bulan merindukan hidup tanpa masker, eh, ketika hujan mulai turun, pimpinan DPR malah bermasker ria. Bahkan, sebelumnya muncul gagasan membuat Pansus Asap, yang bisa berujung pada penggunaan hak interpelasi.

Namun, saya segera mengoreksi diri. Apa guna sebal gara-gara ulah pimpinan DPR? Bukankah Pansus Asap dapat dikarang sebagai ide cemerlang, dibuat lucu-lucuan?

Pertanyaan paling penting ialah siapa pelaku utama pembakaran hutan gambut. Pansus Asap bekerja keras, sekeras-kerasnya, termasuk memanggil sang asap dari Sumatra dan Kalimantan, untuk ditanyai di hadapan wakil rakyat terhormat.

“Hei, asap, siapakah membuatmu eksis di bumi pertiwi, di hutan gambut, membuat warga tersiksa? Benarkah terjadi pembiaran pemerintah terhadap dirimu?”

Karena anggota pansus yang bertanya menggunakan masker, pertanyaan itu tak jelas terdengar di telinga asap. Setelah bekerja berbulan-bulan, Pansus Asap berkesimpulan bahwa pemerintah tidak tanggap terhadap bencana asap.

Pemerintah melakukan pembiaran. Presiden Jokowi mempercepat pulang dari lawatan kenegaraan ke AS, lebih sebagai pencitraan. Kesimpulan Pansus Asap itu diambil ketika hujan telah turun di mana-mana.

Bahkan, saking derasnya hujan, bencana banjir kembali menimpa sebagian Jakarta. Seperti biasa. Yang luar biasa ialah hujan kali ini pun memberi inspirasi kepada anggota DPR untuk membentuk Pansus Hujan.

Jika sebelumnya pimpinan DPR mengenakan masker, kali ini mereka memimpin sidang memakai jas hujan. Bahkan, ada yang berpayung di dalam gedung. Padahal, di luar gedung DPR, hari terang-benderang.

Dalam karya sebagian fiksi ini, Pansus Hujan pun bekerja mati-matian, termasuk mengundang hujan ke dalam sidang DPR, untuk ditanyai, mengapa turun tak kira-kira sehingga menimbulkan banjir.

Kesimpulannya? Seperti terhadap asap, pemerintah dinilai tidak tanggap mengantisipasi dampak musim hujan. Presiden meninjau korban banjir dinilai hanya semata pencitraan.

Semua itu ‘karangan’ saya. Yang bukan karangan ialah ada anggota DPR, pimpinan komisi, berpandangan Pansus Asap lebih penting ketimbang Pansus Pelindo. Yang benar, fakta berbicara, semua pansus yang dibentuk DPR, termasuk Pansus Bank Century, lebih hebat gaduhnya daripada hasilnya. Nggak ngefek.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.