Ma’ruf Amin dan Erick Thohir

0 433

APAKAH Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri BUMN Erick Thohir layak mendapat gelar doktor honoris causa?

Jawaban mesti dikembalikan kepada persyaratan pokok; apakah tiap-tiap pejabat itu termasuk ‘seseorang yang dianggap telah berjasa dan atau berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia’?

Adalah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang berencana memberi gelar doktor kehormatan kepada kedua pejabat itu. Muncul keberatan dari mereka yang membahasakan diri sebagai Aliansi Dosen UNJ. Mereka menilai kedua pejabat tersebut tidak memenuhi syarat mendapatkan gelar doktor honoris causa dari UNJ.

Di UNJ ada ketentuan bahwa gelar doktor honoris causa tidak diberikan oleh UNJ kepada siapa pun yang sedang menjabat dalam pemerintahan. Hal ini untuk menjaga moral akademik UNJ. Ini berarti gelar kehormatan itu hanya diberikan kepada Ma’ruf Amin dan Erick Thohir jika peraturan itu diubah atau dilanggar.

Mengubah peraturan universitas hanya untuk kepentingan memberi Dr HC kepada wapres dan seorang menteri kiranya bukan perbuatan terhormat. Terlebih bila universitas melanggar peraturan yang dibuatnya sendiri. Ini ‘keterlaluan’.

Faktanya memang banyak orang di negeri ini yang mendapat gelar Dr HC justru ketika sedang menjadi pejabat publik. Akan tetapi, tidak muncul polemik di universitas karena di universitas itu mungkin tak ada ketentuan bahwa Dr HC tidak diberikan kepada pejabat. Kemungkinan lain mereka berpandangan memberi gelar Dr HC perkara yang lumrah. Kenapa mesti diributin?

Yang elok tentu universitas memberi gelar Dr HC setelah seseorang itu menjadi mantan pejabat. Elok karena menunjukkan bahwa jasa atau karya orang itu memang luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia sehingga takkan lekang kendati yang bersangkutan bukan lagi pejabat.

Memberi gelar kehormatan Dr HC kepada pejabat tak terhindar dari penilaian bahwa ‘ada udang di balik batu’. Tentu bukan ‘udang kecil’. Inilah gelar kehormatan beraroma transaksional.

Ada juga perkara langka. Universitas memberi gelar Dr HC kepada seorang alumnusnya karena amat bangga. Belum pernah ada lulusannya menjadi menteri. Barangkali dalam 20 tahun ke depan belum tentu terulang.

Begitu banyak orang yang mendapat gelar Dr HC di dalam kedudukan sebagai pejabat publik yang jasa dan karyanya ‘biasa-biasa saja’ sehingga pemberian gelar itu sebetulnya tak terasa lagi sebagai sebuah kehormatan. Yang terjadi seperti sebuah musim. Ada musim rambutan, ada musim universitas memberi gelar Dr HC.

Rambutan ada yang manis, ada yang asam. Apakah ‘rasa’ yang melekat pada doktor honoris causa Wapres Ma’ruf Amin dan Menteri BUMN Erick Thohir? Bagi yang hendak memberi gelar itu rasanya manis, manis sekali. Bagi yang menentangnya, rasanya asam sekali. Bahkan mungkin pahit sekali. Kiranya penolakan sejumlah dosen itu merupakan rasa pahit yang perlu dirasakan sebagai kritik yang sehat bagi universitas.

Para petinggi di universitas mungkin telah mengidap complacency, kepuasan dengan diri sendiri. Mereka tak melihat ada hal yang salah dalam hal pemberian gelar kehormatan doktor honoris causa. Mereka tak bertepuk sebelah tangan. Para petinggi negeri pun mungkin termasuk the complacent class (meminjam istilah ekonom Tyler Cowen). Kelas yang puas diri, yang dalam hal ini merasa diri sangat patut mendapat kehormatan doktor honoris causa karena telah memberi jasa dan/atau karya yang luar biasa.

Barangkali sia-sia berharap Wapres Ma’ruf Amin atau Menteri Erick Thohir menyatakan tidak bersedia diberi gelar Dr HC. Kendati sia-sia, saya tetap berharap mereka melakukannya. Kenapa? Jokowi 21 kali menolak pemberian gelar doktor honoris causa. Suatu hari dia menjawab, “Buat saya berat itu. Saya ini orang bodoh kayak gini. Berat lho, jangan sampai kita mendapatkan sesuatu yang sebenarnya kita belum layak. Saya pikir-pikir dulu, ini berat.”

Suatu hari yang lain Jokowi berkata, ”Saya kan hanya insinyur kehutanan dari UGM. Itu saja sudah cukup.”

Jokowi menunjukkan dirinya bukan penyandang complacency. Dia bukan jenis yang puas dengan diri sendiri. Dia tahu diri. Dia menolak pemberian gelar doktor kehormatan itu. Bukankah ini contoh yang bagus?

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.