Kami tak Mau Mati

0 421

NAMANYA Paulina. Umurnya 15 tahun. Ia memaksa dirinya turun dari pembaringan. Ia melepas ventilator, berjalan mengelilingi tempat tidurnya. Itu terjadi setelah 10 hari ia dirawat di ICU di Broward Health Medical Center, Florida, AS.

Melihat Paulina melepas ventilator, berkeras hati ‘belajar’ berjalan, membuat ibunya, Agnes Velasques, yang selama ini menemaninya di ICU, meneteskan air mata. Paulina belum divaksinasi. Agnes telah divaksinasi, sempat demam, kiranya tertular korona dari Paulina. Cerita itu diangkat CNN Amerika, 11 Agustus lalu. Stasiun TV itu mewawancarai ibu dan anak itu, melalui video call.

Paulina mengikuti nasihat physical therapist yang membantunya berjalan. Pada mulanya ia menggunakan walker, alat bantu jalan, mengelilingi tempat tidur tiga kali. Namun, kemudian ia seperti tak ingin berhenti berjalan.

“Saya merasa seperti ada batu besar yang baru saja lepas dari dadaku,” kata sang ibu yang tiap hari selalu bilang kepada putrinya, to fight for your life.

‘Berjuang untuk hidup’ ialah obat yang tidak tersedia di instalasi farmasi rumah sakit. Spirit itu bersemayam di dalam diri Paulina, juga di dalam diri om dan tante saya, yang terinfeksi korona dan dirawat sekamar, di sebuah rumah sakit, di Jakarta Selatan. Suatu saat datanglah perawat ke kamar mereka, meminta nama dan alamat keluarga yang dapat dihubungi. Tante dan om tersentak.

Mereka bangkit. Turun dari tempat tidur. Melalui telepon genggam, mereka memutar lagu-lagu kesayangan mereka. Berdua bernyanyi, berjingkrak, sepuasnya. “Kami tak mau mati,” kata tante, memberi kesaksian di dalam pertemuan zooming keluarga besar kami.

Hobi kiranya dapat membakar orang bergairah untuk tetap hidup. Ketagihan menonton sepak bola siaran langsung di televisi, bisa bikin orang memberontak melawan penyakit. Itulah yang dilakukan saudara saya yang lain. Ia berumur hampir 70 tahun, komorbid jantung, telah divaksinasi.

Dirawat di ruang salah satu rumah sakit kelas 1, di bilangan Jatinegara, Jakarta, ia berkeras hati untuk menonton final Euro 2020. Panas badannya 38 derajat celsius lebih. “Dari tempat tidur saya gembira dapat memaksa diri menonton sepak bola level dunia.” Besoknya panas badannya turun menjadi 36 derajat lebih.

Saya mendengarkan cerita itu dengan sebuah kepercayaan bahwa hati yang gembira ialah obat. Sebagai penggemar sepak bola, dini hari itu pun saya melawan kantuk untuk dapat mengikuti jalannya final Euro 2020.

Pertandingan final Inggris versus Italia itu diperpanjang. Skor tak berubah. Pertandingan berakhir adu tendangan penalti. Ini urusan menegangkan. Mata tak berkedip. Italia juara di kandang lawan.

Gara-gara pandemi setahun lebih kompetisi sepak bola tanpa penonton. Hati ikut kering. Hati kembali mekar menyaksikan riuh-rendahnya kehadiran ribuan orang di stadion terkemuka Wembley, London.

Pertandingan final itu usai di kala subuh datang menjelang. Diri pun tertidur nyenyak. “Sejak itu panas badan saya normal,” katanya. Setelah 18 hari dirawat di rumah sakit, dia pulang ke rumah, bukan ‘berpulang’.

Semua kisah itu moralnya serupa, ‘kami tak mau mati’. Spirit yang kiranya perlu direproduksi dan ditiru pasien korona, di mana pun berada.

Leave A Reply

Your email address will not be published.