Perpaduan Dua Keluhuran

408

KETIKA massa berupaya masuk ke Gedung DPR dengan cara menjebol paksa pagar DPR, kira-kira apa yang mereka pikirkan. Izinkan saya berspekulasi.

Barangkali mereka berpikiran DPR ialah ‘dewan pengkhianat rakyat’. Bukti pengkhianatan itu ialah disahkannya RUU KPK dan bakal disahkannya RKUHP (24/9).

Kendati masa jabatan anggota DPR hasil Pemilu 2014 masih lima hari lagi, yakni sebelum anggota DPR hasil Pemilu 2019 dilantik pada 1 Oktober 2019, mereka berpikiran anggota DPR itu tidak layak dan tidak patut lagi berada di Gedung DPR. Gedung itu harus diduduki, dibersihkan dari para pengkhianat.

Barangkali mereka berpikiran lebih jauh lagi. Mereka berkeras menduduki Gedung DPR agar anggota terpilih DPR tidak dapat dilantik pada 1 Oktober 2019. Mereka barangkali berpikiran Indonesia lebih baik tanpa parlemen ketimbang punya parlemen yang khianat.

Barangkali pikiran mereka tidak sejauh itu. Mereka berupaya menjebol paksa pagar DPR untuk menunjukkan bahwa mereka menyesali DPR mengesahkan RUU KPK dan sekaligus memberi peringatan keras agar DPR tidak mengesahkan RKUHP.

Mungkin masih ada jawaban barangkali lainnya. Barangkali mereka berpikiran menduduki Gedung DPR sedemikian rupa sehingga presiden dan wakil presiden terpilih tidak dapat dilantik pada 20 Oktober 2019.

Semua itu pikiran barangkali. Bukan hasil investigative reporting. Karena itu, biarlah tetap sebagai ‘barangkali begitu’, ‘barangkali tidak begitu’, yang ada di dalam pikiran mereka.

Akan tetapi, apa pun yang mereka pikirkan kiranya satu hal jelas bahwa kehebatan kita berdemokrasi belum sampai pada tahapan kehebatan kita berkonstitusi. Malah yang terjadi sebaliknya, kebebasan kita berekspresi dapat menghancurkan demokrasi itu sendiri dan serentak dengan itu juga dapat menghancurkan konstitusi.

Saya, atau Anda, atau siapa pun boleh tidak suka dengan undang-undang (UU) yang dihasilkan DPR. Namun, kiranya itu bukan alasan untuk meniadakan kewenangan yang diberikan konstitusi kepada DPR untuk membuat UU. Tersedia checks and balances, jalan konstitusional untuk me-review UU. Bukankah sebaiknya kita percayakan kepada yang punya legal standing untuk membawanya ke MK?

Saya, atau Anda, atau siapa pun punya hak menyatakan pendapat tentang baik atau buruknya DPR hasil Pemilu 2014. Namun, kiranya kita tidak dapat tidak mengakui DPR hasil Pemilu 2019, lalu hendak menghalangi pelantikan 575 anggota DPR.

Jalan pikiran yang sama terhadap presiden dan wakil presiden terpilih. Saya, atau Anda, atau siapa pun tidak dapat tidak mengakui hasil Pilpres 2019. Juga tidak boleh menghalangi pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih.

Dalam hal itu ada dua kepatuhan yang penting dan perlu bersama ‘kita’ tegakkan. (‘Kita’, bukan lagi saya, atau Anda, atau siapa pun). Pertama, kepatuhan ‘kita’ kepada demokrasi (pileg dan pilpres). Kedua, kepatuhan ‘kita’ kepada konstitusi.

Berdemokrasi dan berkonstitusi ialah dua keluhuran ‘kita’ berbangsa dan bernegara. Perpaduan dua keluhuran itu bukan lagi pilihan, melainkan keniscayaan.

Terus terang saya tidak melihat perbuatan menjebol paksa pagar DPR sebagai perbuatan bermuatan hak-hak sipil. Malahan itu perbuatan sebagian dari diri anak bangsa ini untuk menceraikan dua keluhuran berdemokrasi dan berkonstitusi. Padahal dua perpaduan keluhuran itu seyogianya kita kawal dan tegakkan bersama.

Dalam ‘keluhuran’ terkandung makna ‘kebesaran’ dan ‘kemuliaan’. Hemat saya, ke sanalah bersama kita melangkah.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.