Legislasi Moral atau Legislasi Hukum

380

Kita bangsa yang kiranya makin suka memenjarakan anak bangsanya sendiri. Pembuat undang-undang sepertinya bahagia bila penjara penuh sesak.

Untuk menjadi warga yang baik, orang harus diancam pidana. Apa ukuran baik? Negara (pemerintah dan DPR) yang menentukan di dalam produk perundang-undangan.

Perkara yang ‘baik’ dan yang ‘buruk’ ialah perkara moral. Inilah negara yang atas nama tegaknya moral masuk ke sana kemari melalui pembentukan undang-undang.

Sesungguhnya dan senyatanya di lembaga legislatif, dalam membahas RKUHP, yang bekerja bukan lagi legislasi hukum, melainkan legislasi moral. Moral macam apa?

Contoh, orang yang menunjukkan apotek untuk dapat membeli kondom (alat pencegahan kehamilan) dipidana denda. Juga yang menyiarkan tulisan untuk mencegah kehamilan atau penyakit infeksi menular seksual dipidana dengan pidana denda. Tidak dipidana jika dilakukan petugas yang berwenang atau relawan yang kompeten yang ditugaskan oleh pejabat yang berwenang.

Persoalan lain apakah orang hamil karena pemerkosaan punya hak untuk menggugurkan kandungan dengan pertimbangan ‘keburukan-keburukan eksternal’, selain ‘keburukan internal’, yakni ‘akibat yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan’?

Semua itu semata contoh pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan pembahasan mendalam sebelum RKUHP disahkan. Terburu-buru dan dangkal menjawab semua pertanyaan itu membuat lembaga legislatif bersalin fungsi menjadi legislasi moral, bukan legislasi hukum. Padahal yang diproduksi perundang-undangan bukan kode moral.

Dengan persalinan itu sebetulnya yang duduk di parlemen bukan lagi wakil rakyat, melainkan wakil ulama/pendeta/biksu, wakil orang-orang suci. Saya pikir inilah pelencengan fungsi legislatif yang serius.

Dalam optik itu publik gembira Presiden Jokowi meminta agar pengesahan RKUHP yang diagendakan DPR besok ditunda. Permintaan itu disambut mayoritas fraksi di DPR. Apakah penundaan itu buruk bagi kinerja DPR hasil Pemilu 2014?

KUHP yang kita pakai warisan hukum pidana Belanda yang dibuat pada 1800 dan diadaptasi untuk negeri jajahan pada 1915. Telah lama disadari KUHP ketinggalan zaman. Baru di masa Presiden Jokowi pemerintah konkret mengajukan pembahasan RKUHP (Juni 2015).

Pembahasan selesai Januari 2017. Akan tetapi, RKUHP itu mendapat penolakan keras dari publik, bahkan berlanjut sampai menjelang pengesahan DPR yang diagendakan berlangsung besok.
Adanya KUHP baru bukan untuk legacy siapa pun. Bukan untuk pemerintah, bukan pula untuk DPR yang sekarang, ataupun DPR yang akan datang.

Bukan hanya KPK perlu diawasi. DPR pun perlu diawasi agar tidak bersalin menjadi lembaga legislasi moral, bukan legislasi hukum. Karena itu, RKUHP tepat ditunda dan ‘diwariskan’ kepada DPR baru yang akan dilantik pada 1 Oktober 2019 yang kiranya bisa lebih terus terang membahasnya dengan mende-ngarkan keberatan-keberatan publik.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.