Menimbang Baik-Buruknya Perppu

364

SETIAP kali kita membahas perppu, setiap kali itu pula kiranya kita patut me­ngagumi pendiri bangsa, perumus konstitusi. Mereka membayangkan negara yang mereka dirikan tidak selamanya berjalan mulus.

Telah terbayangkan bila terjadi negara dalam keadaan ‘genting yang memaksa’, mereka memberi kewenangan kepada presiden untuk membuat perppu. Apa ukuran ‘genting yang memaksa’? Tidak diatur, diserahkan kepada presiden.

Di dalam penjelasan Pasal 22 UUD 1945 dinyatakan ‘Pasal ini mengenai noodverotdeningsrecht presiden. Aturan ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa, pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat.
Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat’.

Pertanyaan yang perlu direnungkan, kenapa pendiri bangsa, pembuat UUD 1945, menempatkan noodverordeningsrecht (peraturan darurat) itu di dalam Bab VII UUD 1945, yang mengatur Dewan Perwakilan Rakyat? Kenapa tidak menempatkannya di dalam Bab III yang mengatur kekuasaan pemerintahan negara, bagian yang juga mengatur kekuasaan presiden?

Diaturnya perppu di dalam bab dan pasal mengenai DPR, bukan di dalam bab dan pasal mengenai presiden, menunjukkan supremasi pembuatan UU tetap berada di dalam kekuasaan DPR. Hal itu diperkuat bahwa perppu harus mendapat persetujuan DPR. Kiranya jelas dan tegas ‘usia subjektivitas presiden’ dalam penentuan ‘hal ihwal kegentingan yang memaksa’ memang dibatasi paling lama sampai ‘dalam persidangan DPR berikutnya’.

Semua itu menunjukkan konstitusi pun konsisten bahwa ‘Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat’. Pendapat yang bilang menerbitkan perppu berarti presiden tidak menghormati DPR ialah pandangan sembarangan.

Apakah kebaikan perppu UU KPK? Dia ‘obat penenang’ yang ‘lekas’ bekerja.
Apakah keburukan perppu UU KPK? Dia obat yang belum tentu ‘tepat’. Akan tetapi, seperti telah disebut, keburukan itu tidak berumur lama.

Faktanya ialah presiden telah banyak menerbitkan perppu akibat bermacam-macam perkara. Dua di antaranya perppu akibat kekosongan pimpinan KPK. Satu perppu di masa Presiden SBY akibat kasus Chandra M Hamzah dan Bibit S Riyanto, juga satu perppu di masa Presiden Jokowi akibat kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Apa yang ‘ajaib’ jika sekarang Presiden Jokowi menerbitkan perppu UU KPK?

Jalan lain ialah DPR yang baru meninjau ulang UU KPK. DPR membuat lagi yang baru. Legislative review ini bukan barang aneh, bukan pula sulit dilakukan DPR, sebagaimana mereka tunjukkan terhadap UU Pemilu atau UU MD3. Jalan ini memerlukan syarat pokok, yakni DPR hasil Pemilu 2019 lebih baik dan lebih dipercaya daripada DPR sekarang yang membuat UU KPK. Dalam hal ini sebetulnya ‘nasib’ perppu sama saja. Bukankah nasib perppu kemudian diterima atau ditolak bergantung kepada DPR yang baru?

Penulis termasuk yang memilih judicial review, membawa UU KPK untuk diuji materi di MK. Kenapa? Putusan MK final dan mengikat. Putusannya tidak ada urusan dengan DPR yang mana pun.

Semua argumentasi itu ditegakkan di atas basis yang sama bahwa UU KPK perlu diperbaiki. Salah satu contoh yang salah, menurut pakar hukum pidana, Dewan Pengawas tidak boleh masuk ke teritori penanganan perkara (projustitia). Menyadap masuk projustitia. Itu teritori penegak hukum.

Memilih judicial review, atau legislative review, atau perppu dengan semua kebaikan dan keburukannya, kiranya bukan pilihan yang perlu ditentang atau dilawan. Yang perlu ditentang bahkan dilawan ialah pikiran atau gerakan yang ingin menjatuhkan Presiden Jokowi dan menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih pada 20 Oktober 2019.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.