Demokrasi Lintah Darat

296

ONGKOS demokrasi mahal, sangat mahal. Bahkan, tidak berlebihan kiranya untuk mengatakan demokrasi kita ialah demokrasi lintah darat.

Lintah hewan air seperti cacing yang pada kepala dan ujung badannya terdapat alat pengisap darah.

Untuk mengembalikan uang mahar, uang kampanye, uang serangan fajar, uang tim sukses, kepala daerah yang terpilih ditengarai bakal berkelakuan seperti lintah darat, mengisap anggaran negara serakus-rakusnya.

Sejauh ini tidak ada angka yang layak dipercaya, seberapa besar dan bagaimana struktur pengeluaran untuk seorang calon kepala daerah menang pilkada.

Berapa persen dari total biaya itu untuk mahar, membeli kursi partai pengusung?

Jawabnya ada kecenderungan biaya mahar kian menjulang tinggi. Untuk Pilkada 2018, mahar menjadi fenomenal.

Gara-gara mahar, sejumlah pasangan calon kepala daerah baru mendapat kepastian partai pengusung di hari-hari terakhir menjelang pendaftaran.

Mahar itu enak dan juga perlu.

Enak karena tanpa bersusah payah, partai atau oknum pengurus partai mendapat dana segar miliaran rupiah.

Perlu karena mahar itu gizi, vitamin, energi.

Yang enak dan perlu itu nyata terjadi, tetapi barang terlarang itu ditutup-tutupi.

Hanya NasDem satu-satunya partai yang tegas tanpa mahar.

Bahwa mahar itu racun yang faktual, bukan verbal, bukan cerita burung dari mulut ke mulut, baru sekarang ada korban yang berani memaparkannya, membongkarnya.

Kiranya itu perkara bagus, yaitu koreksi bagi demokrasi kita yang telah berjalan amat jauh dalam urusan uang, menjadi demokrasi lintah darat.

Apakah keberanian serupa juga dimiliki Bawaslu RI untuk membongkarnya, setuntas-tuntasnya?

Bawaslu RI punya momentum untuk bermanuver lebih jauh dan lebih dalam.
Cobalah buka pintu lebar-lebar, siapa tahu terjadi surprise.

Begitu banyak orang yang telah membayar mahar, tapi tidak mendapat rekomendasi yang dijanjikan.

Sebetulnya itu tergolong penipuan kelas rendah bertopeng kecanggihan elite partai, mengira korban bakal diam.
Sekarang korban berteriak.

Teriakan itu penting untuk dituntaskan kebenarannya.

Mahar awal korupsi yang harus dibabat agar demokrasi kita tidak berkelanjutan menjadi demokrasi lintah darat.

Sebetulnya UU telah berisi ketentuan yang bagus untuk mencegah korupsi, yaitu calon kepala daerah menyerahkan daftar kekayaan pribadi, sehingga ada patokan.

Membengkaknya harta, melampaui patokan itu secara tidak wajar setelah menjabat, petunjuk bagi KPK untuk menelusurinya.

Karena itu, orang mestinya berpikir panjang untuk membayar mahar bermiliar rupiah yang memaksanya kemudian menjadi lintah darat terhadap anggaran negara.

Berdasarkan data yang diperbarui pada 14 Januari 2018 pukul 05.59.43 WIB yang dipublikasikan KPK, sudah 91% calon kepala daerah yang melaporkan harta kekayaan pribadi.

Dari data itu yang paling kaya ialah Jamaluddin Jafar, calon Bupati Pinrang, Sulawesi Selatan, dengan kekayaan Rp8,3 triliun lebih. Persisnya Rp8.358.947.729.645.

Yang paling miskin ialah Nur Salam, calon Wali Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, dengan kekayaan hanya Rp5 juta.

Melaporkan kekayaan yang mencapai Rp8,3 triliun dapat ditengarai punya keberanian untuk jujur, sebaliknya orang luar biasa jujur hanya punya Rp5 juta bertarung dalam pilkada.

Namun, semua itu pernyataan spekulatif karena persoalan besar bangsa ini buruknya kejujuran.

Kecewa perihal mahar politik membuat ada korban yang sekarang berani jujur membukanya.

Kejujuran dalam kecelakaan. Orang bisa berandai-andai, jika yang bersangkutan mendapat rekomendasi maju pilkada, berapa pun mahar yang disepakati bukan soal.

  1. Kata Gombloh, jigong pun terasa cokekat.
    Apa urusan dengan demokrasi lintah darat?

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.