Kado untuk TNI

261

HARI ini, 5 Oktober, tanggal kelahiran TNI. Pada tanggal itulah, 72 tahun lalu, Badan Keamanan Rakyat (BKR) diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Setelah itu berkali-kali berganti nama, kiranya nama Tentara Nasional Indonesia nama yang final. ‘Apalah artinya sebuah nama’ tidak berlaku di situ.

Nama itu final justru dalam makna substansial, di bawah supremasi sipil. TNI kembali kepada dirinya yang sejati, yaitu tentara pejuang, tentara rakyat, tentara profesional, yang steril dari politik praktis karena politik TNI adalah politik negara.

Pernyataan itu kiranya perlu digarisbawahi kembali sebagai kado ulang tahun TNI, di tengah gairah Panglima TNI Gatot Nurmantyo berpolitik praktis, sampai-sampai harian ini menurunkan kepala berita agar sang jenderal pensiun dini.

Terus terang, Jenderal Gatot tidak terdengar mengunjungi asrama prajurit. Ia tidak terdengar memeriksa sampai sejauh mana profesionalisme militer prajurit berkembang di bawah kepemimpinannya.
Sampai di mana kemahiran teknis-militer meningkat setelah merosot, dalam bahasa Jenderal Kiki Syahnakri, “Akibat terlalu lamanya TNI berada dalam kolam politik praktis.”

Yang terdengar ialah Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo berkunjung dari kampus ke kampus, dari pesantren ke pesantren. Yang terdengar Panglima membaca sajak di acara sebuah partai politik. Sesungguhnya dan senyatanya ia berjalan kebablasan meninggalkan profesionalisme TNI.

Izinkan saya mengutip pandangan Jenderal Soemitro perihal kepemimpinan. Dalam rangka merayakan 70 tahun Jenderal TB Simatupang, ia menulis Ciri-Ciri Kepemimpinan Bangsa dalam Masa Transisi. Ada 16 ciri, tiga di antaranya ‘ambisi’, ‘etika’, serta ‘tidak menggeser tanggung jawab dan mengorbankan bawahan’.

Katanya, orang-orang yang muncul perlu memiliki ambisi. Mereka harus berkemampuan memecahkan masalah di bidang masing-masing dan mendemonstrasikan watak dan karakter yang kuat. Mereka tidak boleh saling mendiskreditkan, saling ngrasani, apalagi saling ‘menakuti’.

Dalam hal etika, menurut Jenderal Soemitro, kader pemimpin harus peka terhadap apa yang salah dan apa yang benar. Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Akhirnya, membina budaya ‘mengerti malu’, mengerti ‘menahan diri’, dan lain-lain sifat pengendalian diri. Ia menilai rendah dan pengecut jika seorang pemimpin biasa menggeser tanggung jawab bila melakukan kesalahan.

Katanya, mulai tingkat jabatan tertentu hendaknya dibina kebiasaan untuk mengajukan permohonan berhenti apabila melakukan kesalahan yang prinsipiel sebagai bagian dari budaya bangsa. Tanggung jawab pemimpin bukan hanya untuk keberhasilan saja, melainkan justru lebih berani menampilkan diri bila terjadi kegagalan.

Semua pikiran Jenderal Soemitro itu disampaikan 27 tahun lalu, tetapi tetap relevan. Terlebih karena sang jenderal konsisten. Contohnya, ia mengundurkan diri dari jabatan Wakil Panglima ABRI dan Pangkopkamtib setelah pecahnya Peristiwa Malari.
Old soldiers never die.

Selain menimba pikiran-pikiran besar para jenderal senior yang tidak pernah ‘mati’, kiranya kado terbaik pada ulang tahun TNI hari ini ialah juga memeriksa agenda yang diperintahkan undang-undang, tetapi belum diselesaikan. Ia menjadi ‘pending matter’, yang bisa diartikan sebagai ketidakberanian negara memutus perkara.

Perkara itu mengenai kedudukan TNI yang menurut UU TNI, ‘pada masa yang akan datang institusi TNI berada dalam Departemen Pertahanan’. UU itu sedikit hari lagi berumur 13 tahun (diundangkan 16 Oktober 2004), tetapi tetap tidak jelas kapan yang dimaksud dengan frasa ‘pada masa yang akan datang’.

Sejujurnya, ada ‘kerisauan’ TNI berada di bawah Departemen/Kementerian Pertahanan. Sampai kapan ‘kerisauan’ itu layak dipertimbangkan, terlebih ketika menhan tentara, bukan sipil. Faktanya hingga saat ini negara memilih berpura-pura tidak tahu. Negara menggantungnya begitu saja, tidak menjawab entah sampai kapan. Saya pikir hal itu bukan kado yang manis buat ulang tahun TNI.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.