Negara Sehat Walafiat

295

APA kabar negaraku, yang juga negaramu? Apakah sehat-sehat saja? Jawabnya, sehat walafiat. Ada yang menambahkan, ‘Amin’. Bahwa terjadi kerusuhan setelah unjuk rasa Jumat (4/11), segera ditanggapi Presiden Jokowi. Lewat tengah malam, Sabtu (5/11), sekitar pukul 00.07 WIB, Presiden menyatakan kerusuhan itu telah ditunggangi aktor-aktor politik yang memanfaatkan situasi. Presiden telah berkata tegas.

Negara disebut sehat walafiat, salah satu ukurannya, bila negara aman. Pertanyaannya, jika negara aman, kenapa presiden sampai membatalkan kunjungan kenegaraan ke Australia, yang dijadwalkan kemarin hingga besok? Tidak selalu enak menjadi presiden, berhasil sekalipun. Sekali orang tidak menyukainya, sejak persaingan dalam pilpres, seumur hidup tidak memercayainya, bahkan ingin menumbangkannya di tengah jalan.

Apakah yang akan terjadi jika presiden menganggap keadaan dalam negeri normal, biasa-biasa saja, aman terkendali, lalu tetap pergi ke Australia? Meminjam bahasa Jokowi, aktor-aktor politik bakal memanfaatkannya. Intinya, Jokowi ialah presiden yang tidak pedulian dengan keadaan dalam negeri. Presiden tidak sensitif. Karena itu, lebih baik Presiden sedikit tidak enak kepada Australia, menjadwal ulang kunjungan.

Nyatanya negara tetangga itu sangat memahaminya. Presiden sebetulnya memandang demonstrasi sebagai ekspresi normal dalam demokrasi. Karena itu, pada hari unjuk rasa itu, Presiden normal bekerja. Jumat itu, Jokowi menerima laporan Sekretaris Kabinet Pramono Anung tentang 34 proyek listrik yang mangkrak. Berdasarkan temuan BPKP, sebanyak 12 proyek sudah pasti tidak dapat dilanjutkan, dengan potensi kerugian negara Rp3,76 triliun.

Ada 22 proyek yang bisa dilanjutkan, tapi perlu tambahan biaya baru Rp4,68 triliun dan Rp7,25 triliun. Semua proyek itu dilaksanakan berdasarkan Perpres Tahun 2006 dan Perpres Tahun 2010. Tak hanya menerima laporan mangkrak itu, yang normal dikerjakan Presiden. Jumat itu, juga normal Jokowi ke Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, meninjau perkembangan pembangunan proyek infrastruktur transportasi, terutama kemajuan pembangunan kereta api bandara.

Namun, yang normal itu dipandang tidak normal karena menyebabkan Presiden tidak dapat menerima langsung utusan pengunjuk rasa. Presiden dinilai tidak menghargai mereka sekalipun Presiden telah memerintahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk menerima mereka, didampingi Menko Polhukam, Mensesneg, Menteri Agama, Kapolri, Wakapolri, Panglima TNI, dan Kepala Staf Kepresidenan.

Sesungguhnya, lebih cepat Bandara Soekarno-Hatta terjangkau kereta api lebih baik buat publik. Orang tidak terhalang oleh kemacetan, tidak membayar ongkos tol yang naik melulu. Akan tetapi, kenapa Presiden harus meninjaunya pada hari unjuk rasa di depan Istana Merdeka? Lain kali, kiranya tidak perlu ada lagi demonstrasi karena kontrol terhadap presiden sepenuhnya disalurkan melalui DPR yang tepercaya.

Bila toh terjadi unjuk rasa, Presiden jangan bekerja seperti biasa, blusukan meninjau pembangunan infrastruktur. Tenang-tenanglah di istana, menanti utusan pengunjuk rasa menyampaikan unek-uneknya. Bukankah mendengarkan protes juga kerjaan presiden? Presiden pun sebaiknya berada di dalam negeri seusai demonstrasi yang rusuh. Karena itu, sekalipun negara sehat walafiat, aman sentosa, keputusan Presiden menjadwal ulang kunjungan kenegaraannya ke Australia dinilai langkah yang tepat.

Kehadiran Presiden Jokowi di Bumi Pertiwi dibutuhkan saat ini. Kericuhan pada Jumat, 4 November, jelas menunjukkan masih merupakan soal besar dalam demokrasi kita bagaimana menyandingkan kebebasan dengan ketertiban, kebebasan dengan disiplin sosial, dan kebebasan dengan integritas. Selintas kiranya tampaklah betapa kebebasan sebagai kualitas peradaban berdemokrasi memerlukan kualitas peradaban lainnya, yaitu ‘aturan’, bahkan ‘kode moral’.

Kenapa relasi kedua kualitas peradaban itu menjadi soal besar? Salah satu jawabnya, hemat saya, karena kebebasan yang kita nikmati masih merupakan ‘kebebasan dari’, belum berpindah, menjadi ‘kebebasan untuk’. Ia buah kebebasan dari tumbangnya rezim otoriter selama 32 tahun, rezim yang menggolongkan demonstrasi sebagai perbuatan melanggar hukum, bahkan makar.

Kini kita hidup dalam demokrasi langsung, tetapi belum menjadikan kebebasan itu untuk memperkuat demokrasi, dalam tertib sosial dan tertib politik. Bayangkan, Wakil Ketua DPR bahkan masih perlu ikut berdemonstrasi, memanfaatkan parlemen jalanan. Presiden tidak jadi ke Australia. Sebaiknya, Jokowi menggunakan waktunya untuk segera melaporkan ke KPK, proyek listrik yang mangkrak yang merugikan negara triliunan rupiah. Negara kian sehat walafiat jika listrik di rumah rakyat di mana pun di Tanah Air senantiasa menyala, terang benderang, seterang masa depan berbangsa dan bernegara.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.