Brexit

285

KUNJUNGAN Presiden RI Jokowi dan Presiden AS Barack Obama ke London, pekan lalu, jangan-jangan merupakan lawatan terakhir mereka ke Inggris sebagai anggota Uni Eropa. Pada 23 Juni, melalui referendum, rakyat Inggris bakal memutuskan apakah Inggris tetap bertahan atau keluar dari UE.

Jajak pendapat terakhir (12-14/4) menunjukkan ketatnya pertarungan. Yang memilih tetap bergabung UE hanya unggul 1%, yaitu 40% berbanding 39%. Tidak memilih 5%, tidak tahu 16%, yang mungkin berubah akibat kampanye 15 April-22 Juni.

Berbeda dengan Presiden Obama, tentu saja Presiden Jokowi tidak cawe-cawe perihal Brexit (British exit). Ia mengoptimalkan kunjungannya demi kemaslahatan ekonomi Indonesia. Presiden, misalnya, mengajak warga Inggris agar tidak hanya ke Bali, tetapi juga ke bagian lain Tanah Air yang indah.

Sebaliknya, Obama datang ke Inggris memang hendak mencegah sekutu AS paling setia sejak Perang Dunia II itu agar tidak keluar dari UE.

Alasannya, Inggris yang kuat ialah Inggris yang tetap bergabung di UE yang kuat. NATO hanya efektif bila Inggris tetap di UE. Ia mengajak warga Inggris agar tak terpengaruh kaum xenofobia.

Yang tidak dikatakan ialah Brexit membuat Inggris juga keluar dari Transatlantic Trade and Investment Partnership dan memberi peluang bagi Presiden Rusia Vladimir Putin lebih agresif membangun Eurasian Union, ‘tandingan’ UE.

Inggris sendiri mulai merasakan efek negatif kekhawatiran keluar dari UE. Dalam 6 bulan ini, nilai mata uangnya anjlok 10% terhadap dolar AS.

Posisi pound sterling kini terendah sejak 2009. Pasar properti Kota London turun 21% dari tahun lalu. Bila Brexit terjadi, London bakal ‘dipecat’ sebagai pusat keuangan kliring euro.

Namun, semua itu tak menakutkan mereka yang pro-Inggris keluar UE. Mereka berdalih ekspor Inggris ke UE hanya 13% GDP. Ekspor terbesar (60%) justru ke luar UE.

Selain itu, kaum ekstrem nasionalis dan xenofobia keberatan Inggris membayar kewajiban kepada UE, besarnya 8,8 miliar pound (2014/2015), naik hampir dua kali lipat (2009/2010).

David Cameron berjanji, bila terpilih kembali sebagai PM (2015), ia akan melaksanakan referendum sebelum 2017. Ia sepertinya tak mungkin menjilat ludah sendiri, kendati ia memilih Inggris tetap dalam UE.

Ada yang berpandangan hanya pemimpin penggemar permainan rolet Rusia yang mau mempertaruhkan keputusan negara melalui referendum yang hasilnya spekulatif, tergantung suasana hati warga saat pencoblosan.

Bila Brexit terjadi dan Marine Le Pen terpilih jadi Presiden Prancis, tidakkah Brexit bakal diiikuti Frexit (French exit)? Rontoklah kenyataan sejarah bahwa UE satu-satunya kerja sama internasional paling berhasil.

Apakah Inggris peduli dengan itu? Entahlah. Yang aneh bila Inggris ahistoris terhadap globalisasi, yang antara lain terwujud di Uni Eropa. Skenario terburuk, Inggris kehilangan 9,5% GDP bila keluar dari UE. Namun, tidak ada warga yang ingin bertambah miskin. Karena itu, seperti Grexit (<>Greek exit) yang tidak terjadi, Brexit pun ditengarai bakal lenyap begitu saja, setelah hari referendum.

 

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.