Derita Ekonomi Mikro

293

BIASANYA, dalam suka dan duka, negara cenderung memperhatikan ekonomi makro. Sepanjang ekonomi makro bagus, sepanjang itu pula diyakini ekonomi sehat walafiat. Sebaliknya, ketika pertumbuhan ekonomi melambat, seperti saat ini, ekonomi makrolah lebih dulu diperiksa.

Hasilnya? Kata sebagian pakar, ekonomi saat ini lebih baik jika dibandingkan dengan saat krisis 1997/1998.

Melemahnya rupiah terhadap dolar AS terjadi ‘evolusioner’, perlahan menembus 14.000, tidak mendadak sontak seperti tempo hari. Karena itu, pesimisme dinilai berlebihan, bahkan dapat memicu memburuknya perekonomian.

Pesimisme bisa bikin psikosomatis. Sebaliknya optimisme ekonomi makro bisa bikin rabun dekat, derita ekonomi mikro tak terlihat. Padahal meningkatnya pemutusan hubungan kerja pertanda sakitnya ekonomi mikro.

Tak tercapainya target pajak, sebagian karena tingginya target, sebagian lagi petunjuk termehek-meheknya ekonomi mikro.

Perlu diperiksa, jangan-jangan derita ekonomi mikro terjadi gara-gara ada kebijakan pemerintah ‘menyakiti’ ekonomi mikro. Contoh, kalau kebijakan Menteri PAN dan Rebiro melarang rapat di hotel-hotel dilanjutkan, bisa dibayangkan banyaknya ekonomi mikro yang bernama hotel, limbung dan roboh. Kebijakan itu diam-diam dihentikan karena Menteri Pariwisata mendengar jeritan industri perhotelan.

Seorang pengusaha membawa ke ruang publik melalui surat pembaca, kegagalannya memenuhi pesanan cangkang kernel sawit dari Jepang dengan volume besar untuk jangka panjang (10 tahun). Penyebabnya cangkang kernel sawit dikenai pungutan US$10 per ton (12,5% dari harga jual US$80 per ton).

Kata pihak Jepang, di negara lain pungutan serupa nilainya hanya 2,5%. Pungutan mencekik ekonomi mikro itu termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan No 114/PMK.05/2015 tanggal 15 Juni 2015,
yang belum genap sebulan diperbarui dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 133/PMK.05/2015 tanggal 14 Juli 2015.

Judul surat pembaca itu seram, ‘Butuh Valas, Ekspor Dihambat’ (Kompas, 2 September 2015).

Contoh lain, Ditjen Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan mewajibkan kontraktor proyek infrastruktur minimal Rp200 miliar memiliki alat berat sendiri. Alasannya, pengerjaan konstruksi berjalan lamban gara-gara kontraktor menunggu giliran pemakaian alat berat dari perusahaan penyewaan alat berat.

Pemerintah melawan akal sehat manajemen mikro, yaitu tidak perlu memiliki barang modal sendiri bila menyewa lebih efisien. Katakanlah benar ada persoalan, tapi kenapa leher gatal kaki digaruk?

Lihatlah pertambangan batu bara. Berapa banyak perusahaan penyewaan alat berat terancam bangkrut karena alat beratnya menganggur. Kegiatan menambang terhenti akibat buruknya harga batu bara. Bayangkan bila penambang batu bara memiliki alat berat sendiri, sudah jatuh tertimpa tangga.

Contoh lain, Ditjen Bea dan Cukai mempercepat penundaan pembayaran bea masuk dan pajak impor, dari 120 hari menjadi 60 hari, untuk memberikan kepastian dalam penerimaan negara.

Di satu pihak pengeluaran barang impor dengan jaminan itu belum tentu dipercepat, tapi sebaliknya arus kas ekonomi mikro telah ditekan keluar lebih lekas. Padahal, di lain pihak anggaran negara menganggur, diburu-buru dipercepat penggunaannya.

Ekonomi punya dua kaki, makro dan mikro. Jangan biarkan, apalagi sengaja membuat kaki yang satu tersiksa, bahkan lumpuh. Di bawah cuaca makro melambannya pertumbuhan, mikroekonomi mestinya diberi iklim pemacu produktivitas.

Bukan malah dicekik negara, digigit pula buruh dengan mogok dan kenaikan upah.

Tak ada telur emas bila angsa mampus.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.