Ekonom Bintang

268

SETELAH berjumpa 11 ekonom selama hampir 2 jam dan
sekitar 40 menit bersua Syafii Maarif, tokoh Muhammadiyah, yang menjadi
‘guru’ banyak kalangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ada
tanda-tanda kuat sebelum Lebaran Presiden bakal merombak susunan kabinet
di bidang ekonomi.

Akan tetapi, persoalan bukan lagi siapa bakal diganti
karena Presiden telah memiliki rapor merah yang bersangkutan. Persoalan
justru mencari pengganti, yaitu ekonom bintang, figur menteri yang bisa
meyakinkan pasar. Presiden berkata, “Kalau hari ini ketemu orangnya,
akan saya lantik.

“Mengagetkan nama yang muncul semata wayang, Sri
Mulyani, menteri keuangan di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
yang kemudian mengundurkan diri untuk menjadi Direktur Pelaksana Bank
Dunia. Suka atau tidak suka, terkuaklah keprihatinan baru bahwa negara
ini sepertinya mengalami krisis ekonom bintang.

Bayangkan betapa merosotnya kecerdasan anak bangsa
ini bila presiden hanya mendapat satu nama dari begitu banyak ekonom di
negeri ini. Padahal, inilah negara yang diselamatkan dari keambrukan
ekonomi di zaman Orde Lama berkat duduknya ekonom bintang di Kabinet
Pembangunan, di periode awal Orde Baru. Mereka ialah Soemitro
Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro, M Sadli, Ali Wardhana, Subroto, dan
Emil Salim.

Memburuknya perekonomian negara jelas masalah besar.
Masalah besar itu bisa kian membengkak jika benar bangsa ini mengalami
krisis ekonom bintang yang dipercaya pasar. Hal yang sebaiknya tidak
usah cepat dipercaya, sedikitnya karena tiga alasan.

Pertama, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) perhimpunan paling menonjol jika dibandingkan dengan ikatan sarjana lain.

Sejak berdiri 14 Januari 1955, ISEI bersidang pleno
17 kali dan berkongres 18 kali. Sekarang dipimpin Dr Darmin Nasution,
ISEI bakal berseminar nasional dan berkongres ke-19 pada 7-9 Oktober
2015 di Surabaya. Para ekonom telah diminta mengirimkan makalah dengan
tema Menghidupkan kembali sektor industri sebagai penggerak ekonomi
nasional untuk disaring dan dinilai bobotnya oleh ekonom andal.

Setelah krisis besar Asia satu setengah dasawarsa
lalu, menurut ISEI, sektor industri manufaktur tidak mampu pulih kembali
pada peran semula. Sebuah tema yang membuktikan ISEI masih merupakan
perhimpunan profesi yang peka, tajam, mumpuni, dan terpanggil memecahkan
masalah ekonomi khususnya dan pembangunan nasional pada umumnya sesuai
tujuan ISEI.

Faktor kedua, kayaknya pasarlah yang sulit dipercaya
belakangan ini. Di mana-mana pasar sedang marah, mirip orang kalap
sehingga sulit memercayai banyak hal. Ada ekonomi di negara bermata uang
euro yang mengalami pertumbuhan negatif. Bank Sentral Tiongkok, raksasa
cadangan moneter, sejak November lalu menurunkan suku bunga sampai
empat kali, hal yang tidak pernah terjadi dalam sejarah.

Ketiga, jangan-jangan yang terjadi ialah bintang yang
tertutupi awan politik sehingga belum tampak amat bersinar di mata
pasar, semata karena belum atau tidak jadi menteri. Bukankah sentimen
pasar yang waras sekalipun juga terpicu post-factum, bukan pre-factum?

Saya hanya terganggu oleh harga cabai di pasar karena
makan tak pedas terasa hambar di lidah dan juga terkadang di hati yang
sedang murung. Sambil makan malam yang pedasnya cukup menggigit,
terpikir rasanya perlulah membuka kembali ‘pertukaran’ pikiran dan
perbedaan ‘keyakinan’ antara Dr Boediono selaku Gubernur BI di satu
pihak dan Dr Sri Mulyani selaku menteri keuangan dengan Dr Darmin
Nasution selaku Dirjen Pajak di lain pihak. Semuanya ekonom bintang
bersinar. Boediono disebut berdiri di sisi keyakinan bakal terjadi
dampak sistemis bila Bank Century tidak diselamatkan. Sebaliknya, Sri
Mulyani dan Darmin Nasution disebut berdiri di sisi berlawanan.

Sekadar saran kepada Presiden Jokowi, ada baiknya
mempertemukan kembali Sri Mulyani dan Darmin Nasution masing-masing
dalam kedudukan yang lebih tinggi, yang satu menko perekonomian yang
lain menkeu.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.