Laten Menetek

332

SUATU hari dalam penerbangan Jakarta-Yogyakarta, saya terkesiap membaca ‘Pembahasan SBMPTN 2015’ yang dimuat koran Kedaulatan Rakyat (Rabu Kliwon, 10/6). Terkesiap, karena bahasan jawaban atas tes kemampuan dasar sosial dan humaniora (kode soal: 742) berisi pokok pikiran ‘mengagetkan’. Saya mengalami semacam present shock, bukan future shock.

Bahasan itu berbunyi, “Salah satu fungsi laten lembaga pendidikan adalah menunda perkawinan dan memperpanjang ketergantungan pada orangtua.” Bahasan itu merupakan bahasan atas jawaban D, soal No 35. Bahasan itu diproduksi sebuah lembaga bimbingan belajar. Soalnya tidak ditampilkan. Namun dapat diduga soal merupakan pilihan berganda.

Disebutkan dalam bahasan itu bahwa salah satu fungsi laten lembaga pendidikan ialah menunda perkawinan dan memperpanjang ketergantungan pada orangtua. Untuk pokok pikiran pertama, bahasan kiranya dapat diterima, baik oleh pikiran kuno, terlebih berwawasan modern. Sekalipun tidak diniatkan atau direncanakan mengirim anak ke lembaga pendidikan untuk menunda perkawinan, di tengah masyarakat terdengar kuat orangtua menolak hasrat pinang-meminang dengan alasan anak masih bersekolah.

Dalam perkara itu, kiranya lembaga pendidikan sukses melaksanakan fungsi laten. Spekulatif tanpa statistik resmi dapat dikatakan bahwa semasa di lembaga pendidikan, yang kawin rasanya sangat sedikit ketimbang yang tidak kawin. Pokok pikiran lainnya menurut bahasan itu ialah memperpanjang ketergantungan pada orangtua. Pokok pikiran itulah yang membuat saya terkesiap.

Saking tidak percaya pada apa yang tertera di koran, saya spontan menunjukkannya kepada rekan yang duduk di sebelah. Responsnya pun tak kalah spontan dan mengejutkan, “Maunya anak seumur hidup tergantung orangtua.” Pernyataan itu mengandung protes keras. Pertanyaannya, adakah orangtua diam-diam mengirim anaknya ke lembaga pendidikan untuk memperpanjang ketergantungan pada orangtua?

Jika ada, layaklah yang bersangkutan gratis dikonsultasikan ke ahli kesehatan jiwa. Sebagai orang yang merasa waras dalam memandang fungsi laten maupun manifes lembaga pendidikan, saya mencoba menilik ‘jebakan logika’ dalam bahasan itu. Bukankah menunda perkawinan dapat memperpanjang ketergantungan pada orangtua?

Dapat, tapi tidak dengan sendirinya, tidak pula semuanya. Yang sudah kawin, beranak, masih di lembaga pendidikan pun ada yang masih bergantung pada orangtua. Sebaliknya, ada yang belum kawin, masih duduk di bangku lembaga pendidikan, tapi sudah mandiri, itulah yang diharapkan dan dipujikan. Jadi, keberatan paling pokok bukan perkara terantuk lubang logika, melainkan perihal paling substansial yang sangat mengejutkan bahwa diam-diam atau tersembunyi lembaga pendidikan tidak berfungsi membuat anak mandiri, sebaliknya malah laten berfungsi memperpanjang ketergantungan pada orangtua.

Bila demikian halnya, diam-diam lembaga pendidikan telah menuai keberhasilan. Hal itu terbukti, bertahun-tahun lepas dari lembaga pendidikan banyak yang tetap belum kawin dan tetap pula bergantung pada orangtua. Karena itu tak usah heran, karena ‘menyusu’ pada orangtua rupanya memang fungsi laten lembaga pendidikan.

Kata ‘laten’ (latent: tersembunyi, terpendam, diam-diam, di bawah permukaan) seakan menyelamatkan bahasan itu karena membuat pokok pikiran dalam bahasan itu selintas diterima pikiran sehat. Padahal, meminjam jargon di zaman otoriter, justru bahaya laten terbesar lembaga pendidikan bila laten berfungsi memperpanjang ketergantungan pada orangtua.

Pakar dan otoritas pendidikan sebaiknya memeriksa ulang bahaya laten yang eksis dalam fungsi laten lembaga pendidikan. Terus terang, saya ngeri membayangkan lembaga pendidikan laten berhasil membuat anak bangsa seumur hidup laten ‘menetek’ pada orangtua.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.