CCTV

301

APAKAH aparatur negara suka diawasi kinerjanya? Bila
tidak suka, apakah mereka suka mengawasinya sendiri? Biarlah fakta yang
bikin marah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menjawabnya.

Kamis (2/7) pekan lalu, seusai menilik kelayakan
jalan pantura yang meng hubungkan Lasem (Jateng)-Tuban (Jatim), Ganjar
melakukan inspeksi mendadak di jembatan timbang Sarang, Rembang. Di situ
Gubernur melihat CCTV pemantau kinerja petugas menghadap ke tembok.

“Kamera CCTV hidup ndak itu? Kok, menghadap tembok?”
katanya seperti dikutip Suara Merdeka, Jumat (3/7). Ternyata alat
pemantau kinerja itu bukan hanya tidak difungsikan dengan cara
dihadapkan ke tembok, melainkan juga barang itu memang sudah tewas.
Ketika ditanya kapan mati dan siapa bertanggung jawab memperbaikinya,
tidak ada yang bisa menjawab.

Gubernur kemudian memeriksa semua CCTV. Empat tidak
berfungsi. Satu menghadap ke aspal. Hanya satu yang berfungsi, terletak
di atas komputer pendataan. Kenyataan buruk itu membuat Gubernur marah.
Kasus CCTV jemba-tan timbang Sarang, Rembang, menunjukkan tiga
kemungkinan.

Pertama, buruknya kultur perawatan. Aset negara tidak
terpelihara, dibiarkan tewas. Bahkan, tidak diketahui siapa yang
bertanggung jawab.

Buruknya perawatan aset negara kayaknya bukan semata
terjadi pada CCTV di kantor jembatan timbang Sarang, Rembang, melainkan
dapat diduga terjadi di mana-mana di negeri ini.

Kalau saja petinggi negara melakukan sidak serupa
terhadap semua instansi pemerintah yang menggunakan CCTV, jangan-jangan
banyak CCTV hanya tampaknya saja terpasang gagah, padahal sudah tidak
berfungsi. Gagah, tapi tewas.

Contoh lain, kecelakaan Hercules C-130 layak
ditengarai juga karena jeleknya perawatan alat utama sistem
persenjataan. Yang tewas tidak hanya pesawatnya yang bobrok, tapi juga
lebih 100 manusia. Betapa mengerikan dan menyedihkan akibat buruknya
kultur perawatan.

Kedua, aparatur negara naga-naganya tidak suka
diawasi kinerjanya, termasuk bila diri sendiri yang melakukannya.
Buktinya, CCTV ada yang dibikin menghadap tembok, ada yang menghadap
aspal. Dikira tembok dan aspal yang bekerja, bukan orang. Yang jelas
terjadi pembiaran agar alat pemantau kinerja rusak, tidak berfungsi
sehingga kinerja siapa pun tak terpantau, termasuk hadir tidak hadirnya
pimpinan di kantor.

Ketiga, dalam rangka dikabulkannya anggaran,
pengadaan CCTV di jembatan timbang mungkin diajukan dengan alasan elok
untuk tujuan bagus, yaitu memantau kelakuan aparat agar tidak melakukan
pungutan liar terhadap kendaraan yang kelebihan beban.

Elok banget untuk menegakkan pemerintahan yang
bersih. Namun, itu cuma akal-akalan. Setelah anggaran cair, CCTV
terpasang, dihadapkan ke tembok, ke aspal sehingga praktik pungutan liar
terus berlanjut.

Tiga kemungkinan itu semuanya berisi pikiran negatif.
Kiranya timbullah pikiran positif, belajar dari kasus jembatan timbang
Sarang sehingga tidak ada lagi CCTV di kantor pemerintah yang tewas dan
menghadap ke tembok. Lebih dari itu, kiranya aparatur negara bukan
makhluk bermuka ‘tembok’ yang tiada malu sekalipun kinerjanya
malu-maluin seperti terpantau di CCTV.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.