Keadilan yang Tertunda

226

KEADILAN yang tertunda samalah artinya tidak ada keadilan. Betapa celaka bagi pencari keadilan bila keadilan yang tertunda itu justru terjadi di pengadilan tinggi, terlebih di Mahkamah Agung, gara-gara ‘redundancies’ alias pengulangan-pengulangan.

‘Redundancies’ itu yakni hal-hal yang telah termaktub dalam surat putusan pemidanaan pengadilan negeri, tetapi harus dicantumkan kembali baik di dalam putusan pengadilan tinggi maupun putusan kasasi ataupun peninjauan kembali Mahkamah Agung.

Pengulangan-pengulangan yang tidak penting dan tidak perlu yang mengakibatkan proses pemeriksaan perkara menjadi sangat lama dan tidak ada kepastian hukum. Biang keroknya Pasal 197 ayat (1) UU 8/1981 atau KUHAP yang tidak memberikan kepastian, apakah yang dimaksud surat putusan pemidanaan adalah putusan pengadilan negeri saja atau meliputi seluruh tingkatan pengadilan termasuk pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.

Akibatnya, surat putusan pemidanaan di semua jenjang pengadilan harus memuat kembali seluruh fakta persidangan, termasuk dakwaan serta seluruh bukti-bukti, seluruh keterangan saksi-saksi, keterangan ahli-ahli yang notabene telah dicantumkan di dalam putusan pengadilan negeri.

Pasal 197 ayat (1) KUHAP itu terdiri 12 unsur (huruf a sampai l). Sebuah daftar keharusan yang amat panjang untuk diulang-ulang di semua surat putusan hakim di semua jenjang pengadilan.

Ancamannya mengerikan, yaitu bila surat putusan pemidanaan hakim tidak mematuhi semua unsur itu, menurut ayat (2) pasal itu, mengakibatkan putusan hakim batal demi hukum.

Lima tahun lalu, ayat 1 huruf k pasal itu (bunyinya, ‘perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan’), pernah menimbulkan persoalan karena hakim tidak mencantumkannya sehingga putusan hakim batal demi hukum.

Akan tetapi, MK berpandangan lain, yaitu putusan tanpa perintah penahanan tetap sah. Sekarang yang dipersoalkan keharusan melakukan pengulangan-pengulangan ayat (1) itu yang menyebabkan proses minutasi sangat lama.

Akibatnya, tidak ada kepastian hukum kapan sebuah perkara diputus kasasi ataupun peninjauan kembali oleh MA. Dari sudut konstitusi, timbul persoalan, apakah ketentuan Pasal 197 ayat (1) UU 8/1981 menimbulkan ketidakpastian hukum dan karena itu bertentangan dengan UUD 1945?

Pasal itu turut mengakibatkan tidak terwujudnya peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Perintah undang-undang itu tidak terwujud sekalipun MA berusaha mengatur dirinya paling lama 250 hari.

Dampak lain terhadap profesi advokat. Advokat tidak dapat menjawab kliennya, kapan perkara diputus. Tak hanya itu.
Pencari keadilan hanya mendapat kutipan putusan kasasi diterima/ditolak sehingga advokat tidak dapat menjelaskan kepada kliennya kenapa diterima/ditolak.

Advokat dinilai tidak profesional. Itulah antara lain alasan kenapa advokat Joelbaner Hendrik Toendan, dengan kuasa hukumnya antara lain Juniver Girsang, Harry Ponto, dan Swandy Halim, mengajukan peninjauan kembali terhadap Pasal 197 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana itu.

Mereka mengajukan tiga saksi ahli, Bagir Manan, Eddy Omar Sharif, dan Slamet Sampurno Soewondo. Ketiganya profesor dari tiga universitas berbeda, yaitu Unpad, UGM, dan Unhas.

Dua hari lalu (10/10) MK memutuskan mengabulkan permohonan warga negara yang bekerja selaku advokat itu. MK mengubah Pasal 197 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan menambah frasa ‘di pengadilan tingkat pertama’.

Dengan demikian terciptalah kepastian hukum bahwa 12 unsur dari huruf a sampai huruf l dalam ayat (1) itu harus dicantumkan pada surat putusan pemidanaan pengadilan negeri, tetapi tidak lagi diulang-ulang dalam putusan pengadilan tinggi ataupun Mahkamah Agung.

Putusan yang tampaknya sederhana itu diambil dengan argumentasi panjang antara lain mengenai negara hukum, termasuk di dalamnya melindungi hak-hak terdakwa. Konstitusi menjamin bahwa setiap orang berhak atas kepastian hukum yang adil. ‘Setiap orang’, tidak terkecuali terdakwa.

Demikianlah sebuah lagi undang-undang disempurnakan MK demi tegaknya kepastian hukum. Sebuah kepastian sesuai prinsip hukum haruslah tidak multitafsir (lex certa, legal certainty).

Juga merupakan putusan yang melegakan karena mahkamah menjunjung kearifan bahwa keadilan yang tertunda samalah dengan tidak ada keadilan.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.