Teguran untuk Wali Kota Medan

284

BILA masih ada rasa malu, Kota Medan ialah kota yang memalukan amat sangat.

Sampai-sampai Presiden Jokowi menegur tajam wali kotanya.

Kata presiden, kalau jalan rusak di kota itu tidak segera dibenahi wali kota, tetapi dirinya yang mengerjakan.

Dirinya yang Presiden RI itu, pernah menjadi gubernur dan sebelumnya wali kota yang berhasil.

Sebuah perjalanan kepemimpinan yang memberinya dimensi moral yang lebih dari cukup untuk sangat patut dan perlu menegur wali kota.

Seorang presiden punya kekuasaan untuk menegur kepala daerah, tapi menurut hemat saya, tidak semua presiden punya dimensi moral yang kuat untuk melakukannya karena bersumber dari ‘riwayat hidup’ yang unik.

Karena itu, teguran Presiden Jokowi kepada Wali Kota Medan Dzulmi Eldin kiranya teguran yang ‘sangat istimewa’, dalam makna bila ia masih punya rasa malu.

Presiden Jokowi mendapat keluhan banyak sekali mengenai jalan rusak di Medan. Ia bukan jenis pemimpin yang percaya keluhan atau laporan begitu saja.

Ia menjalankan pemerintahan, antara lain dengan memecahkan persoalan-persoalan dengan menggunakan informasi mutakhir hasil verifikasi fakta, terjun ke lapangan.

Sebuah gaya kepemimpinan yang sangat penting di tengah kultur paternalisme dan asal bapak senang.

, pagi itu, Sabtu (14/10), presiden naik mobil jip ‘mengunjungi’ jalan-jalan yang rusak.

Sebuah laporan jurnalistik melukiskan mobil itu bermanuver mencari jalan yang mulus.

Jalan rusak berat, berlubang, dan becek.

Setelah mengujinya sendiri di alam nyata, barulah presiden bersuara.

“Tugas wali kota untuk menyelesaikan. Kalau enggak segera dikerjakan, duluan saya kerjakan nanti.”

Pertanyaan besar apakah Wali Kota Medan Dzulmi Eldin masih punya rasa malu ditegur presiden.

Jangan-jangan dia malah senang didahului presiden memperbaiki semua jalan yang rusak itu.

Dia mengira presiden kurang kerjaan dan merupakan kehormatan baginya, tugasnya yang dasar dikerjakan presiden.

Bukankah itu pertanda bahwa dia lebih hebat daripada presiden?

Ini Wali Kota Medan, Bung!

Medan bukan kota yang melarat, apalagi terlalu melarat sehingga tidak berkemampuan memperbaiki jalan.

Orang Medan bukan pula makhluk yang tidak bisa membedakan mana jalan dan mana kubangan kerbau.

Medan bukan pula kota yang fakir dalam sejarah peradaban, dalam konteks besar.

Sebagai gambaran, pada 18 Maret 1885, di Medan terbit koran pertama Deli Courant, berbahasa Belanda.

Di halaman depan dimuat berita pemasaran tembakau, bukan hanya yang diekspor, melainkan juga jumlah tembakau yang diimpor Amerika pada 1884.

Koran itu menunjukkan Medan tergolong kota terdepan, yang terhubungkan dengan ‘dunia’.

Bukan kota ‘terbelakang’, seperti sekarang di zaman global dan digital, yang ditunjukkan oleh jalan-jalan yang rusak berat.

Setahun setelah Deli Courant terbit, dibuka jalan kereta api Medan-Labuhan.

Menurut hasil riset H Mohamad Said, mengenai sejarah pers di Sumatra Utara dengan masyarakat yang dicerminkannya, menjadi bahan lelucon ketika kereta api pertama dijalankan terpaksa berhenti, karena buaya yang berjemur di atas rel tergiling.

Sekarang mobil rakyat bisa terguling di jalan yang buaya pun enggan lewat.

Bagaimana perkara jalan rusak berat itu dapat dijelaskan? Di situ ada tragedi peradaban.

Sementara itu, warga telah berlalu-lalang di dunia maya melalui internet, di alam nyata warga masih harus melewati jalan rusak, berlubang, dan becek.

Buruknya sektor kepublikan kota itu menunjukkan gagalnya pemimpin kota.

Namun, itu kecaman, bukan jawaban yang menjelaskan.

Saya kira wali kota tidak sendirian. Pemerintahan Kota Medan secara kolektif hampa kultur pelayanan publik.

Mereka tidak memandang, apalagi memperlakukan hal ihwal kepublikan sebagai core business pemerintahan.

Mereka juga tidak pernah becermin bahwa gaji dan fasilitas yang mereka nikmati dibiayai pajak.

Pemerintahan kota terus tergradasi di dalam moto ‘sumut’, yaitu ‘semua urusan memerlukan uang tunai’.

Sesungguhnya dan senyatanya dinamika orang Medan tidak terekspresikan dalam dinamika pemerintahan kota.

Mestinya watak warga yang kritis dan gemar bernarasi perihal berbagai perkara kepublikan menjadi modal sosial yang dahsyat untuk menggelorakan dinamika pemerintahan.

Dalam perspektif itu membuat jalan yang bagus dan terpelihara di kota itu kiranya urusan kicik (kecil).

Sebuah kontras dengan kota lain perlu ditunjukkan. Pemerintahan sejumlah kota bukan hanya ‘melihat ke depan’, melainkan juga ‘melihat ke belakang’, menghidupkan kembali keaslian kota tua sebagai sumber daya ekonomi.

Trotoar kembali beradab seperti ‘dulu’.

Sementara itu, Medan bahkan tidak bisa ‘melihat hari ini’, sampai-sampai presiden perlu ‘menunjukkannya’.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.