Kerja Bersama
PRESIDEN Jokowi menuai pujian hebat atas dua perkara besar berkaitan dengan acara dan upacara memperingati hari proklamasi kemerdekaan ke-72 RI.
Pertama karena dikenakannya pakaian adat dan kedua karena hadirnya semua mantan presiden dan wakil presiden, khususnya SBY dan Megawati di istana.
Kedua tokoh itu lebih dari 13 tahun tidak bertegur sapa.
Pada 17 Agustus lalu mereka bersalaman di istana disaksikan Ibu Ani Yudhoyono dan Menko Puan Maharani.
Peristiwa itu mendapat perbincangan luas, fotonya beredar di media sosial, dan Presiden Jokowi mendapat apresiasi hebat karena mempersatukan pemimpin bangsa.
Kiranya kisah lama perihal seorang menteri, pembantu presiden, yang ‘diam-diam’ mencalonkan diri menjadi presiden, kemudian bersaing dalam pilpres, tutup buku. Kala itu SBY menko polkam, Megawati Presiden RI.
Keduanya bertarung dalam Pilpres 2004.
Pertarungan berlangsung dua putaran dan dimenangkan SBY.
Mencalonkan diri menjadi capres merupakan hak konstitusional warga.
Pokok persoalan bukan pada pencalonan, bukan pula pada siapa menang atau kalah, melainkan pada kata ‘diam-diam’.
SBY sepertinya ‘lupa’, Megawati-lah yang mengangkatnya kembali menjadi menko polkam setelah dipecat Gus Dur.
Sekali lagi, berkat Presiden Jokowi, kiranya semua itu telah menjadi masa lalu.
Semua mantan presiden, apa pun riwayat hubungan masing-masing, personal maupun official, sama-sama merayakan kemerdekaan RI dengan semangat satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, yaitu Indonesia Raya.
Jokowi bukan tipe presiden yang gemar muluk-muluk, yang dikemas dalam slogan dan tema besar.
Tema perayaan kemerdekaan RI kali ini ialah Kerja bersama.
Tema itu sangat bersahaja, yang tetap konsisten berkaitan dengan nama kabinet Jokowi, Kabinet Kerja.
Berkuasa tidak selalu diisi dengan kerja, tetapi dengan omong, bahkan mulut sampai berbusa-busa. Itu jelas bukan Jokowi.
Ia, misalnya, tidak pernah ‘berbicara’ perihal mempertemukan SBY-Megawati, tetapi ia ‘mengerjakannya’.
Kerja merupakan napas utama kepemimpinannya dan dalam hasil kerja ia mengekspresikan kekuasaannya, bukan dengan menjadi otoriter dan diktator seperti tuduhan oposisi.
Hasil kerja bersama itu nyata, antara lain pembangunan infrastruktur yang bukan saja dapat diperiksa hasilnya, melainkan juga dapat dirasakan dan dinikmati.
Sebentar lagi terwujud sebuah sejarah baru pelayanan kepublikan di ibu kota negara, orang naik kereta api dari dan ke Bandara Soekarno-Hatta tanpa kemacetan.
Suatu hari belum lama berselang, seorang rekan asal Jawa Barat dengan bangganya memperlihatkan kepada saya secara visual perkembangan pembangunan Bandara Kertajati Majalengka.
Tahap awal terminal utama penumpang bandara itu seluas 96 ribu m2, dapat menampung 11 juta penumpang.
Diperkirakan, bandara itu dapat beroperasi tujuh bulan lagi (Maret 2018).
Siapa pun dapat melihat dan merasakan pembangunan infrastruktur lainnya di perbatasan Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, dan Papua Nugini.
Dulu anak bangsa malu bila keadaan di negeri sendiri dibandingkan dengan negara tetangga.
“Kita ingin rakyat di perbatasan, di pulau-pulau terdepan, menjadi semakin bangga menjadi warga negara Indonesia dan menjadi semakin semangat untuk menjaga Tanah Air-nya,” kata Jokowi.
Semua itu hasil kerja bersama.
Bukan kerja sendiri-sendiri.
Mengurus dan membangun negeri ini bukan semata kerja presiden yang sedang berkuasa, melainkan semua anak bangsa, termasuk para mantan presiden, dan tentu mereka yang juga berkuasa di DPR yang menjadi oposisi.
Merayakan kemerdekaan RI jelas juga terkandung makna kontekstual, bahwa beroposisi tidak berarti buta terhadap semua realitas positif yang dikerjakan komponen bangsa bersama Presiden Jokowi.
Presiden yang sehat rohani dan jasmani dan kinerjanya nyata jelas bukan pula presiden yang lebih gemuk, seperti doa seorang oposisi di DPR.
Lebih gemuk badannya, apalagi kantongnya karena korupsi.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.