Presiden Media Sosial

303

PRESIDEN Filipina Rodrigo Duterte mengejutkan jurnalisme tradisional karena memberi izin kepada bloger dan media sosial lainnya untuk meliput resmi di kantor kepresidenan. Syaratnya Filipino, berumur di atas 18 tahun,
serta punya sedikitnya 5.000 ‘pengikut’.

Urusan pemberian akreditasi kepada bloger/media sosial itu diserahkan kepada Margaux Justiano Uson, yang lebih dikenal dengan nama profesional Mocha Uson. Mocha punya pengikut 5 juta lebih di Facebook. Ia meninggalkan dunia penyanyi, penari, dan model untuk terjun ke politik berkampanye memenangkan Duterte menjadi presiden. Mocha kini yang mengepalai urusan media sosial di Kantor Presiden Filipina.

Presiden Duterte tergolong presiden aneh. Akan tetapi, tidak aneh ia memberi pengakuan resmi kepada media sosial. Pada 2016 ia menang pilpres berkat pengaruh media sosial. “Kita harus mengakui media baru dan pengaruhnya,” kata Kris Ablan, asisten presidensial urusan pers.

Kebijakan Presiden Duterte resmi ‘mengakui’ posisi jurnalisme media sosial itu dikritik keras kalangan jurnalisme tradisional. Duterte dinilai tidak bisa membedakan ’journalism legitimate’ yang profesional dan ’pseudojournalism’ yang menyebarkan berita bohong.

Pengakuan terhadap pengaruh media sosial telah lebih dulu dilakukan Perdana Menteri India Narendra Modi. Pada 2014 ia terpilih menjadi PM berkat media sosial. Ia bahkan mendapat julukan sebagai perdana menteri media sosial India yang pertama. Majalah Time menobatkannya termasuk 30 orang berpengaruh di dunia via media sosial.

Modi ‘bersaing’ dengan Presiden AS Donald Trump. Ketika kedua pemimpin itu bertemu di Gedung Putih (26/6/2017), Trump membahasakan pertemuan itu sebagai pertemuan dua pemimpin dunia di media sosial. Katanya, sebagai pemimpin resmi hasil pilihan rakyat, mereka menyampaikan langsung suara kepada rakyat melalui media sosial, sebaliknya rakyat pun melalui media sosial dapat menyuarakan pendapatnya langsung kepada sang pemimpin.

Pada saat mereka bertemu, Trump punya 32,8 juta pengikut Twitter, sedangkan Modi punya 31 juta pengikut Facebook. Trump lebih rajin ‘berkicau’, yaitu 35 ribu kali, sedangkan Modi 6 ribu kali.

Penduduk India lebih empat kali lipat penduduk AS. Akan tetapi, pemakai internet di AS jauh lebih banyak ketimbang India, yaitu 87% orang AS dewasa memakai internet, sedangkan di India 27%.

Perbandingan lain, 7 dari 10 orang dewasa AS memakai media sosial, sedangkan di India 2 dari 10 penduduk dewasa. Kendati demikian, PM Modi lebih progresif membangun digitalisasi negaranya, baik dalam urusan pelayanan publik seperti urusan paspor dan pendaftaran sekolah, maupun dalam pembuatan kebijakan publik. Digitalisasi India bukan hanya membangun kota-kota cerdas, melainkan juga sebanyak 250 ribu pemerintahan desa telah terkoneksi dengan kabel optik. PM Modi juga mendesak para menterinya untuk bermedia sosial dalam bertugas.

Gencarnya pemerintah bermedia sosial menimbulkan masalah etika, yaitu para pegawai negeri turut mengkritik kebijakan pemerintah dan memakai media sosial untuk menyebarkan/membocorkan pandangan antipemerintah. Sebagai pribadi, PM Modi merupakan tokoh yang luar biasa berpengaruh melalui media sosial, tetapi sejauh ini tidak demikian untuk pemerintahannya.

Presiden Duterte punya alasan kuat untuk memberi akreditasi resmi bagi media sosial untuk meliput istana. Penetrasi internet di Filipina mencapai 58% penduduk, lebih banyak 8% daripada rata-rata global. Filipina pun merupakan negara ke-23 dengan penetrasi tertinggi di dunia. Filipino menghabiskan rata-rata 8,59 jam per hari berinternet.

Penetrasi media sosial sama dengan penetrasi internet, yaitu 58% penduduk, dan rata-rata mereka menghabiskan 4,17 jam per hari untuk bermedia sosial. Pertumbuhan pemakai media sosial pada Januari 2017 naik 25% daripada Januari 2016. Pengguna/akun Facebook saja mencapai 50 juta, dengan 42% pengguna aktif setiap hari.

Seperti Presiden Trump dan PM Modi, Presiden Duterte pun termasuk pemimpin negara yang tidak ‘bersahabat’ dengan jurnalisme tradisional. Filipina tergolong negara rawan pembunuhan jurnalis. Kata Duterte, “Hanya karena engkau seorang jurnalis, tidak terkecuali untuk dibunuh, kalau engkau jurnalis yang ‘korup’, anak perempuan jalang (son of a bitch).”

Membunuh bukan perkara besar bagi Duterte. Menghabisi nyawa kriminal dan pengguna narkoba telah dilakukannya sejak ia menjadi Wali Kota Davao. Kiranya juga bukan perkara besar baginya membunuh jurnalisme tradisional (sekalipun profesional/ journalism legitimate), demi media sosial yang banyak pengikut (sekalipun pseudo, jurnalisme palsu).

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.