Gedung Baru DPR

272

TERUS terang selama ini saya termasuk yang berpandangan DPR tidak perlu gedung baru. Saban kali muncul gagasan membangun gedung baru, saban kali itu pula saya berpendirian yang sama, menolaknya. Sampai kemudian saya mendengar kabar, lift di gedung itu jatuh.
Seorang rekan anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Tengah berada di dalamnya. Kabar itu mendorong saya berpikiran kiranya ada baiknya beranjang sana ke gedung DPR.

Itulah yang saya lakukan kemarin, bersama seorang rekan wartawan senior Kleden Suban, mengunjungi gedung DPR. Ketika tiba di lantai 22, tempat Fraksi NasDem, seorang petugas keamanan bertanya mau ke mana, spontan saya jawab, “Mau jalan-jalan.” ‘Jalan-jalan’ ke Gedung DPR itu membawa kami antara lain ke sebuah ruangan tempat tenaga ahli bekerja.

Dalam ruangan 12 m2 itu bekerja 8 orang, padahal agar bisa lega bekerja ruangan itu sebaiknya hanya untuk empat orang. Mereka bagaikan sardencis. Benar lift di gedung itu telah berkali-kali jatuh. Terakhir itu terjadi dua pekan lalu. Tidak terjadi malapetaka, yang dibahasakan sebagai ‘untunglah’, karena jatuh dari lantai 1.

Gedung DPR itu resmi dipakai pada tanggal keramat di zaman Pak Harto, 11 Maret 1997. Masih terpampang jelas prasasti peresmiannnya, yang ditandatangani Ketua DPR H Wahono. Dari segi usia (20 tahun), gedung itu belum tua, tapi dari segi daya dukung telah melewati batas. Gedung itu dirancang untuk dihuni 800 orang, kini dihuni 4.000, alias lima kali lipat.

Di zaman otoriter itu, misalnya, tidak perlu benar anggota DPR punya tenaga ahli. DPR kerjanya kor menyetujui apa yang diinginkan eksekutif. Legislatif cuma tukang stempel, sebutlah dalam hal menyetujui rancangan undang-undang yang umumnya diproduksi pemerintah. Di era demokrasi, DPR diasumsikan mampu memiliki inisiatif sendiri dalam memproduksi undang-undang.

Tiap fraksi hendaknya punya pandangan yang berbobot, yang antara lain berkat dukungan tenaga ahli. Bila satu fraksi ‘hanya’ punya 20 tenaga ahli, itu berarti di gedung itu sedikitnya ada 200 tenaga ahli. Belum lagi tenaga ahli sang wakil rakyat. Di sisi lain, jumlah kursi DPR terus bertambah. Pada 1997, ketika gedung itu diresmikan hanya 425 kursi, sekarang 560 kursi. Pada Pemilu 2019 bertambah 15 kursi, menjadi 575 kursi.

Itu berarti juga pertambahan jumlah tenaga ahli sehingga ruang kerja kian padat dan sumpek. Karena itu, dari segi kenyamanan dan keselamatan, DPR perlu gedung baru. Gedung untuk kerja, bukan apartemen untuk tempat tinggal anggota DPR. Itulah yang diputuskan Ketua DPR Setya Novanto.

proyek apartemen itu, menurut Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, karena Novanto tidak ingin terus menjadi polemik. Di masa awal saya menjadi reporter (1980), mudah mencari anggota DPR yang tinggal di flat di kompleks DPR. lat itu kemudian dirobohkan. Tak ada lagi wakil rakyat yang tinggal di situ.

Saya sendiri kini setuju negara kembali membangun hunian bagi mereka di kompleks itu berupa apartemen, bukan yang mewah, dan sebagai ‘gantinya’, semua kompleks perumahan DPR baik di daerah Kalibata maupun Ulujami dirobohkan untuk dibangun rusunawa bagi rakyat. Yang perlu dipertanyakan justru apa perlunya di kompleks parlemen dibangun alun-alun demokrasi, seperti menghidupkan kembali alun-alun sebagai tempat topo pepe agar raja mendengar ‘suara’ rakyat.

Di Keraton Yogyakarta, topo pepe ialah aksi warga menjemur diri di alun-alun sampai mendapat jawaban dari ngarso dalem, sang raja. Sejarah kiranya kuburan buat aristokrasi. Ini zaman demokrasi langsung yang menuntut wakil rakyat turun ke rakyat, menjemput protes rakyat, bukan malah rakyat yang datang untuk topo pepe di alun-alun di kompleks parlemen.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.