Pintu Masuk bagi AHY

261

PEMILU serentak kiranya membawa kerisauan bercabang dua. Cabang pertama ialah kerisauan apakah partai bakal meraih kursi DPR yang ditargetkan.

Tentu ada partai yang diam-diam mengalami kerisauan yang lebih dalam, apakah lolos ambang batas parlemen. Jangan-jangan Pemilu 2019 ini merupakan ajang penyembelihan partai masuk ke lubang kubur.

Cabang kedua ialah kerisauan apakah presiden yang diusung bakal menang pilpres. Partai dalam kelompok kerisauan ini terbagi dalam tiga jenis. Jenis yang pertama partai yang mendapat efek elektoral terbesar berkat partainya mencalonkan kadernya menjadi capres. Partai jenis ini hanya ada dua, yaitu PDI Perjuangan dan Gerindra.

Jenis yang kedua partai yang tidak mendapat efek elektoral pencapresan, tetapi mati-matian memenangkan capres-cawapres yang turut diusungnya. Partai konsisten memikul tanggung jawab. Partai jenis ini yang saya tahu betul ialah Partai NasDem yang sejak dini telah menyatakan mengusung kembali Jokowi untuk menjadi presiden dua periode.

Jenis yang ketiga partai yang tidak mendapat efek elektoral dari pencapresan, lalu mengambil sikap mengerahkan energi untuk mengurus diri sendiri dalam pemilihan legislatif. Inilah jenis kerisauan yang dialami Partai Demokrat, yang terbaca dalam pidato politik yang disampaikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), anak SBY, Jumat (1/3).

AHY tidak sebatas mengungkapkan bahwa hanya partai pengusung utama calon presidenlah yang paling berpotensi mendapatkan efek elektoral terbesar. Lebih dari itu, ia mengekspresikan kerisauan yang amat dramatis ketika AHY bilang, jika kondisi ini berlanjut di masa depan, bukan tidak mungkin era multipartai akan berakhir, dan menyisakan hanya dua partai besar, seperti di Amerika Serikat.

Partai Demokrat formal mencalonkan Prabowo-Sandiaga, tetapi dalam pidato politik itu nama capres-cawapres itu tidak disebut sama sekali. Pidato itu pun dibahasakan sebagai rekomendasi untuk presiden mendatang, yang mengandung makna juga ditujukan kepada Jokowi, bila Jokowi yang menang.

Kata AHY, “Kami menyadari, Demokrat tidak memiliki kader utama yang menjadi calon presiden dan calon wakil presiden 2019-2024. Karenanya, tidaklah berlebihan jika melalui forum ini, kami menyampaikan rekomendasi kepada presiden mendatang, sebagai wujud kontribusi Partai Demokrat dalam memperjuangkan harapan rakyat Indonesia.”

Sikap itu menunjukkan bahwa dalam pilpres Partai Demokrat kembali berada di tengah, tidak di sini, tidak pula di sana. Inilah sikap asli SBY, yang disebutnya sebagai penyeimbang.

Kembali ke watak asli itu kiranya publik tahu hal itu terutama karena AHY gagal diplot menjadi cawapres. SBY berhasil menjadikan AHY sebagai calon gubernur Jakarta, tetapi gagal menjadikannya cawapres. Kiranya skenario alih generasi untuk AHY terhenti sementara karena pilpres memang berbeda dengan pilgub. Sampai kapan terhenti?

Apa pun alasannya AHY tidak dikontestasikan/dikompetisikan dalam pemilu legislatif. Kancah legislatif itu untuk Edhie Baskoro Yudhoyono, anak SBY yang kedua. AHY kiranya diekspos untuk menjadi penyelenggara negara di ranah eksekutif.

Hemat saya, pintu masuk tercepat bagi AHY melalui jalur political appointee. Untuk itu yang terdekat ialah duduk di kabinet dalam pemerintahan hasil Pemilihan Presiden 2019. Maka dari itu, bacalah pidato politik AHY yang berisi rekomendasi kepada presiden mendatang sebagai pernyataan politik bahwa SBY dan partainya, Partai Demokrat, sekalipun resminya mencalonkan Prabowo, siap berkoalisi dengan kubu Jokowi bila Jokowi yang terpilih menjadi presiden masa jabatan kedua.

Saya yakin syaratnya yang terpokok AHY menjadi menteri. Apakah untuk itu mereka berkeringat? Sebaik-baiknya perkara pertanyaan itu disimpan saja di dalam hati.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.