Azan

288

MENDENGAR azan sesungguhnya merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari anak bangsa yang majemuk. Azan ditujukan kepada saudara-saudara sebangsa yang muslim untuk menunaikan salat lima waktu.

Akan tetapi, azan itu pun terdengar di telinga anak bangsa yang nonmuslim. Terdengar sebagai panggilan beribadah yang khusyuk bagi pemeluknya, dihormati dengan ketulusan bagi yang bukan pemeluk. Salah satu buktinya ialah kita (apa pun agamanya) spontan berdiam diri, ketika terdengar suara azan, di dalam forum yang resmi. Spontanitas itu terjadi sekalipun orang sedang berpidato dan lalu memang resmi diminta untuk bersama-sama diam sejenak. Dalam diam, dalam hening itu kita dapat merasakan indahnya suara azan yang dilantunkan seorang muazin.

Masjid atau langgar hadir di tengah-tengah permukiman warga yang plural, majemuk, dan berbeda-beda tetapi satu. Dari tempat suci itu mengalun azan yang dihormati dengan sepenuh hati.

Saya seorang Kristen asli anak bangsa ini dari pribumi yang bernama suku Batak. Saya lahir dan hidup di tengah mayoritas muslim. Masih terbayang di masa kecil tetangga mengirim ketupat di hari Lebaran, sekalipun kami pasti datang ke rumahnya untuk berhalalbihalal, bermaaf-maafan. Sebaliknya, tetangga datang ke rumah kami untuk merayakan tahun baru.

Perbedaan dalam harmoni itu merupakan rahmat dan karunia. Bahkan, di masa SMA, di saat Ramadan, tetangga bersengaja dengan riang gembira memukul-mukul tiang listrik berseru ‘saur, saur’, meneriakkan nama saya dalam rangka mengingatkan para tetangga untuk makan sahur. Kamar tidur saya berada di bagian depan rumah kami yang memang dekat ke posisi berdirinya aset PLN itu.

Dalam suasana kebatinan demikian itu, dalam kerukunan sesama warga yang demikian itu, hemat saya, mendengar suara beduk dan azan bagi umat nonmuslim telah menjadi kerutinan yang bermakna, dalam kehidupan kekitaan yang majemuk dan rukun.

Dalam makna umum, beduk dan azan juga menjadi penanda waktu yang sahih. Kesahihan itu terekspresikan dalam pernyataan spontan, ‘sudah beduk belum? Sudah azan belum?’ Ibu saya memberi patokan agar sebelum magrib saya sudah pulang ke rumah dari mana pun tempat saya berkeluyuran.

Saya yang nonmuslim saja dapat menikmati indahnya azan. Apalagi Jokowi, muslim sejati, pemimpin negara demokrasi berpenduduk muslim terbanyak dan terbesar di dunia.

Karena itu, betapa keji tuduhan apabila Jokowi menjadi presiden untuk kedua kali azan dilarang. Pembunuhan karakter yang keji, amat keji.

Jokowi bukan orang sinting. Dia bukan ateis. Dia bukan komunis. Dia orang waras taat beragama yang berhasil memimpin negara yang berdasarkan Pancasila ini. Karena itu, saya ingin dia terpilih kembali menjadi presiden.

Siapa pun yang mendampingi Jokowi sebagai wakil presiden, apakah itu Jusuf Kalla atau Ma’ruf Amin, tidak akan terjadi larangan azan. Sangat sulit dimengerti, bahkan Jokowi didampingi wapres alim ulama, Ketua MUI, masih ada yang berpikiran Jokowi akan melarang azan.

Jokowi terus disakiti dengan syirik dan fitnah. Itu terjadi pada Pilpres 2014. Hasil pilpres ternyata lebih banyak rakyat yang waras, yang memilihnya, dan terbukti Jokowi memimpin negeri ini dengan amanah.

Dalam Pilpres 2019 kembali Jokowi disakiti dengan tuduhan bila dia menang, azan dilarang. Kiranya hasilnya pun nanti lebih banyak rakyat yang memercayai Jokowi untuk memimpin negeri ini hingga 2024.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.