Contoh dari Atas

345

KIRANYA perlu pengakuan yang jujur bahwa tidak mudah mengubah kebiasaan menggunakan kendaraan pribadi beralih menjadi pengguna transportasi publik. Kenapa? Salah satu jawabnya karena naik mobil pribadi memberikan kenikmatan tersendiri.

Itulah kenikmatan yang tidak sehat baik bagi diri sendiri maupun lingkungan yang tercemarkan emisi gas buang. Namun, tidak banyak kota di dunia yang berani meniru Kota Copenhagen, Denmark, misalnya. Kota itu menjadi salah satu kota tersehat di dunia karena warganya memilih bersepeda.

Sebuah survei di 23 kota di 15 negara yang dilakukan Conduent pada 2017 menyimpulkan transportasi publik di masa depan ialah kombinasi apa yang mungkin (what’s possible) dan apa yang dibutuhkan (what’s needed). Orang sering tidak tahu moda transportasi publik apa yang lebih baik. Ketika mereka membayangkan masa depan, masa depan itu dibatasi pengalamannya dan persepsinya sekarang.

Karena itu, terbuka peluang dan optimisme bahwa publik dapat dididik untuk beralih dari menyetir mobil sendiri bila tersedia multimoda transportasi publik yang memberi keluwesan pilihan bagi dirinya. ‘Bagi dirinya’ pernyataan yang penting, karena keputusan memilih transportasi bukan pilihan yang rasional. Sebanyak 54% memilih menyetir mobil sendiri karena nikmat.

Contohnya, orang mungkin memilih naik mobil pribadi atau bus dari rumahnya ke stasiun kereta api terdekat, untuk kemudian naik kereta api ke tempat tujuan (kerja). Bahkan, lebih elok lagi bila tersedia pula alternatif warga bisa dengan nyaman dan aman naik sepeda dari rumah ke stasiun terdekat, untuk kemudian berkereta api ke tempat tujuan.

Akan tetapi, solusi yang sehat itu hanya mungkin dilakukan di kota yang udaranya bersih. Hal itu masih sangat jauh untuk dapat diterapkan di Jakarta. Kenapa? Laporan Greenpeace terakhir Jakarta dan Hanoi merupakan dua kota terpolusi di Asia Tenggara. Salah satu penyebabnya ialah meningkatnya jumlah mobil pribadi yang menyesaki Kota Jakarta dengan gas buangannya yang empat kali lipat di atas batas aman tahunan menurut standar Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Perubahan kebiasaan menggunakan kendaraan pribadi beralih menjadi pengguna transportasi publik ialah proses yang panjang. Perubahan itu bahkan memerlukan keteladanan yang menunjukkan empati kepada suasana kebatinan publik.

Saya pikir itulah yang dilakukan Presiden Jokowi ketika dia naik KRL commuter line untuk pulang ke Istana Bogor pada Rabu (6/3). Presiden didampingi Komandan Paspampres, Mayjen Maruli Simanjuntak, bersesakan dalam gerbong yang penuh dengan masyarakat yang pulang kerja. Dalam penuh sesak itu Jokowi sempat menanggapi sejumlah masukan pengguna KRL.

Itu bukan pertama kali Jokowi naik kereta api. Hampir setahun lalu, Sabtu (7/4/2018), Presiden berkereta api dari Bogor ke Sukabumi, Jawa Barat, untuk melakukan kunjungan kerja. Presiden disambut hujan dan rakyat yang gembira.

Semua itu bukti Jokowi berkereta api bukan pencitraan menjelang pilpres. Presiden menjadikan dirinya sebagai role model kepublikan yang langka.

Rakyat perlu contoh dari atas. Jokowi kembali menunjukkan dirinya bukan pemimpin penghasil teks, banyak omong, melainkan pemimpin yang menaklukkan konteks. Inilah pemimpin yang mengilhami kepercayaan karena melakukan berbagai hal yang benar, demi kemaslahatan publik, kemaslahatan rakyat banyak.

Saya pikir contoh dari atas yang ditunjukkan Jokowi itu perlu ditiru lebih luas oleh pejabat publik lainnya. Publik perlu lebih banyak contoh tokoh publik yang ‘berani’ kehilangan kenikmatan naik mobil pribadi.

Kiranya hasilnya ialah publik bukan hanya dapat menikmati akhir pekan sebagai car free day, melainkan juga beberapa hari kerja sebagai car free days sehingga kemacetan dan polusi banyak berkurang.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.