Jenderal Luhut

0 354

DI pemerintahan Jokowi sekarang ini ada dua jenderal Angkatan Darat berkedudukan sebagai menteri. Mereka ialah Luhut Binsar Pandjaitan dan Prabowo Subianto. Jumlah yang lebih dari cukup.

Jenderal Luhut ialah menteri yang paling capek. Masuk akal karena Presiden Jokowi memberinya tugas sebagai komandan PPKM Jawa-Bali. Tiap Senin malam publik menanti keterangannya perihal kemajuan kita menghadapi pandemi korona secara lebih rinci. Garis besar lebih dulu disampaikan Presiden kendati tak selalu.

Jenderal Luhut menteri yang vokal. Kiranya hal ini hasil perkawinan jenderal perang dengan kultur Batak yang bersuara keras. Terkadang terasa kasar. Suatu hari sang jenderal berkata bahwa pandemi korona terkendali, sangat-sangat terkendali. “Jadi, yang bicara tidak terkendali itu bisa datang ke saya. Nanti saya tunjukkan ke mukanya bahwa kita terkendali.”

‘Tunjukkan ke mukanya’ kiranya mau menekankan bahwa benar terkendali. Benar ada buktinya, ada fakta yang dapat diperlihatkan kepada yang tidak percaya bahwa pandemi terkendali. Akan tetapi, pemilihan diksi ‘tunjukkan ke mukanya’ dapat digolongkan ke dalam kategori ‘ngono yo ngono ning ojo ngono’.

Luhut kiranya perlu banyak bicara agar pengertian dan pemahaman publik mengenai keadaan pandemi terus meluas dan membaik. Soal besar kita ialah disiplin sosial yang belum tegak konsisten. Begitu terjadi pelonggaran, orang merasa bebas bergerak, mengabaikan protokol kesehatan. Yang paling parah ialah yang terpapar oleh korona tanpa gejala, tak tahu dirinya terinfeksi, berkeliaran di ruang publik.

Sang jenderal bilang begini: Akan ada pembaruan di platform Pedulilindungi. Orang yang teridentifikasi positif covid-19 akan ditandai dengan warna hitam. Jika mereka masih nekat keluyuran di ruang publik, “Mereka akan langsung dievakuasi, diisolasi, atau dikarantina secara terpusat.”

Adakah yang tak jelas? Adakah yang abu-abu di dalam pernyataan Jenderal Luhut itu? Semua terang benderang. Tentu di era supremasi sipil, orang dapat menyoal, perlukah ketegasan otoriter macam itu? Sebaliknya, di negara yang penegakan hukumnya lembek, di tengah pandemi yang ganas mematikan warga, bolehkah pemerintah membiarkan orang terpapar oleh korona berkeliaran di ruang publik? Pemerintah macam apa pula itu namanya? Pemerintah resmi tidak mengumumkan keadaan darurat. Akan tetapi, kiranya substansial pemerintah telah sampai pada posisi halal hukumnya menerapkan salus populi suprema lex (keselamatan rakyat ialah hukum tertinggi).

Sebagai seorang perwira, Jenderal Luhut tak luput mengatakan superioritas presiden sebagai atasannya. Antara lain, “Pada malam ini kami diperintahkan oleh Bapak Presiden….” Nada yang berbeda dengan zaman Harmoko dulu, seorang sipil, “Atas petunjuk Bapak Presiden….” Petunjuk itu arah, tepatnya pengarahan; perintah itu apa adanya, tepatnya siap dilaksanakan.

Suatu hari Jenderal Luhut dalam kapasitasnya sebagai menko bidang kemaritiman dan investasi kesal dengan tudingan membengkaknya utang luar negeri. Dia mengundang pengkritik berdebat. Undangan itu diladeni dosen Universitas Indonesia Djamester Simarmata. Pertemuan yang berlangsung lebih 1 jam dinilai konstruktif bagi pemerintah. Djamester memberikan masukan positif bagi pemerintah untuk membenahi, tetapi bagi publik, tak jelas apa isinya. Namun, debat dengan Rizal Ramli gagal karena dinilai debat bukan untuk mencari solusi, melainkan akan jadi debat kusir dan sirkus politik. Apa pun alasannya, isu debat utang luar negeri kemudian rada memudar di ruang publik.

Yang sekarang sedang hangat Jenderal Luhut menyomasi Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti. Mereka mengatakan via Youtube, Luhut bermain tambang di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua. Pengacara Luhut, Juniver Girsang, menyebut pernyataan Luhut ‘bermain tambang’ itu merupakan fitnah, pencemaran nama baik, serta mengarah ke pembunuhan karakter.

Sebelumnya Jenderal Luhut melaporkan mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Muhammad Said Didu ke polisi. Juga via Youtube Said diduga menghina, mencemarkan nama baik, menyiarkan berita bohong, dan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat. Said Didu menyoroti persiapan pemindahan ibu kota negara yang masih terus berjalan di tengah pandemi korona. Said Didu menyebut Luhut ngotot agar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak ‘mengganggu’ dana pembangunannya. Hal tersebut dianggap dapat menambah beban utang negara.

Jenderal Luhut bukan menteri pengangguran yang banyak waktu untuk berdebat atau bersengketa di muka hukum. Presiden Jokowi memberinya tugas lebih berat daripada tugas menteri lainnya, sampai ada yang membahasakannya sebagai layaknya perdana menteri. Kenapa dia perlu berdebat, melapor ke polisi, dan menyomasi? Bukankah yang diperbincangkan Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti, dan Said Didu itu perihal kebijakan publik? Ada yang menilai Jenderal Luhut enggan dikritik. Benarkah?

Saya ingin mengutip pendapat Julia Galef, pakar rasionalitas bahwa ada dua macam mindset, yakni scout mindset dan soldier mindset. Yang pertama ialah cara berpikir yang dapat membantu Anda menyadari kapan Anda salah. Itulah cara berpikir pramuka. Yang kedua, mindset yang mendorong Anda untuk mempertahankan posisi Anda–berapa pun ongkosnya. Bertempur itu harus menang, nyawa taruhannya. Itulah cara berpikir tentara, the soldier mindset.

Hemat saya, kiranya perlu sebagai pejabat publik, Menteri Luhut terkadang berpikir seperti pramuka.

Leave A Reply

Your email address will not be published.