Mengenang Jakob Oetama

510

TAHU batas ialah kearifan seorang Jakob Oetama. Melampaui batas berarti kematian, bukan pilihan pers yang waras–sang penjaga akal sehat kepublikan.

Di dalam pengertian yang mendalam perihal ‘batas’ itulah Jakob Oetama berhasil menjawab persoalan besar pers Indonesia–di dalam bahasanya sendiri– ’bagaimana kebudayaan komunikasi pers Indonesia yang sesuai dengan keadaan’.

Agar sesuai dengan keadaan, ‘pers perlu menahan diri untuk melangkah maju’. Bila melangkah maju di bidang politik belum dimungkinkan, demikian Jakob Oetama, pers harus maklum. Maka pers menggarap bidang-bidang lain agar arah geraknya tetap kemajuan.

Polemik mengenai politik tak dimungkinkan diselenggarakan di halaman 4 Kompas. Tetapi di situ, sebagai contoh, dimungkinkan berlangsung pertarungan kritik sastra aliran Ganzheit atau Gestalt yang digagas Arief Budiman dan Goenawan Mohamad, melawan paham kritik sastra Rawamangun, yang diwakili MS Hutagalung. Kompas tak dimungkinkan mengkritik pemerintah, tetapi Emmanuel Subangun dapat membantai pertunjukan seni di Taman Ismail Marzuki sebebas-bebasnya. Demikianlah, Kompas menggerakkan kemajuan public intellectual, juga apresiasi seni dan kebudayaan, secara serentak.

Di dalam pengertian macam itu, Jakob Oetama memaknai 30 tahun terkekang di zaman Orde Baru, yakni sebagai era pers yang, di satu sisi ‘secara cermat melakukan self cencorship’, di sisi lain, ‘arahnya… perluasan ide demokrasi dan kebebasan’.

Pengertian ‘menahan diri untuk melangkah maju’ itu bahkan tetap disuarakannya di zaman kebebasan pers, setelah Orde Baru tumbang. Katanya, Pandai-pandailah Menyuburkan Kebebasan Pers, yang merupakan judul sebuah tulisannya.

Kapankah Jakob Oetama awal merasakan kekejaman kekuasaan otoriter Orde Baru? Hemat saya, pada Oktober 1970, saat Kongres PWI di Palembang. Pemerintah membredel pasangan Rosihan Anwar dan Jakob Oetama, ketua umum dan sekjen PWI, hasil pilihan ‘rakyat’ pers, mengalahkan pasangan BM Diah dan PG Togas, pilihan rezim Orde Baru.

Diri diberedel itu terasa sakitnya, dan kiranya luar biasa sakitnya ketika yang diberedel lembaganya, Kompas (1978).

Dampak pemberedelan pengurus PWI hasil Kongres Palembang itu dahsyat. Ia, misalnya, mendorong Goenawan Mohamad dkk meninggalkan Ekspres, kelompok BM Diah, untuk mendirikan Tempo. Sejak kelahirannya, Tempo produk perlawanan terhadap rezim otoriter.

Kematian kebebasan kemudian bukan hanya di tubuh organisasi profesi yang bernama PWI, melainkan juga gentayangan di newsroom. Semua pemberedelan terjadi justru akibat memberitakan fakta publik, bukan sensasi.

Ukuran menjatuhkan pemberedelan sesuka rezim. Pengambilan keputusan untuk memberitakan peristiwa dramatis yang terjadi terbuka di ruang publik, menghadapi dilema, sebagai pergumulan hidup atau mati, sesuka rezim. Padahal fakta dan keterangan Pangkopkamtib, perlu dan penting ‘didampingi’ fakta dan keterangan hasil jurnalisme.

Di bawah rezim otoriter, rasanya lebih mudah pers memilih mati, daripada pers memilih hidup, di bawah tekanan ‘lembaga telepon’ Puspen ABRI. Hanya pengecut yang menyerah. Pilihan sulit itulah yang diambil Kompas, Tempo, dan lainnya dengan gaya, cara, dan kecerdasan masing-masing. Buahnya ialah pembelaan terhadap hak hidup jurnalisme dan media jurnalisme serius, yakni surat kabar dan majalah berita berkualitas, serta tumbuh dan berkembangnya reading public yang mendukung jurnalisme bermutu.

Jurnalisme Kompas–yang dibahasakan Rosihan Anwar, dengan sinisme sebagai jurnalisme kepiting–jelas merupakan produk kearifan berbasiskan realisme pahit. Dia bukan produk sinisme terhadap kematian yang gentayangan di news room.

Kiranya selintas perlu dilihat hubungan Rosihan Anwar dengan Soeharto. Soeharto berpangkat Letkol dikenal Rosihan Anwar pada 1949, di dalam perjalanan 14 jam, untuk bertemu Panglima Soedirman di markas gerilya. Dua puluh lima tahun kemudian, pada 1974, setelah Malari, Soeharto berpangkat jenderal, Presiden RI, kiranya masih membekas kesan di dalam dirinya, tentang sosok seorang pemimpin redaksi Pedoman, yang arogan, yang juga sedikit atau banyak, punya sinisme.

Pada Mei 1970, tak sampai 5 bulan menjelang Kongres PWI di Palembang, Presiden Soeharto ke AS, atas undangan Presiden Nixon. Rosihan Anwar dan Jakob Oetama ikut dalam lawatan itu sebagai pemimpin redaksi. Di dalam penerbangan, Bu Tien mendekati Rosihan Anwar, duduk di sebelahnya. Bu Tien bilang, “Kenapa tidak membantu pemerintah dan mendukung Pak Harto?” Rosihan menjawab, “Tiap orang punya lakon masing-masing.”

Spekulatif saya menduga, kesan subjektif itu sangat berpengaruh. Ketika Menteri Penerangan Mashuri bertanya perihal Pedoman, berkaitan dengan Malari, Soeharto menjawab, “Pateni wae, ‘matikan saja’.”

Secara spekulatif pula saya menilai Jakob Oetama yang santun tak terkena titah pateni wae, karena ia tak mengenal Soeharto di masa ‘lalu yang jauh’ (untuk tak mengatakan belum jadi ‘apa dan siapa’).

Mematikan pers bukan perkara berdosa di dalam peradaban Orde Baru, bukan perkara besar bagi Orde Baru. Cukup sepenggal ‘kalimat’, pateni wae. Cukup diteken seorang dirjen, dan basa-basi pemerintah ‘setelah mendengarkan penilaian dari Dewan Pers’. Seketika matilah Pedoman, Indonesia Raya, Abadi, KAMI, Sinar Harapan, Prioritas, Tempo, Editor, dan Detik. Tempo bahkan dua kali diberedel.

Padahal, untuk menghidupi pers, diperlukan ‘kalimat’ sangat panjang. Kata Jakob Oetama, “Menerbitkan surat kabar adalah kesatuan proses produksi da ri mencari berita, mengolah, mencetak, mengedarkan, sampai menagih uang langganan.”

#Jurnalis #Jakob Oetama

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.