Tempat Tidur Procrustes

325

APAKAH presiden terpilih Jokowi merasa kesulitan atau merasa tertekan atas permintaan partai terbesar agar diberi kursi menteri terbanyak? Saya yakin tidak.

Kiranya ada yang berpikiran bahwa hak prerogatif presiden seperti tempat tidur Procrustes. Dalam mitologi Yunani inilah tempat tidur jika terlalu pendek dia ditarik, jika terlalu panjang dia dipotong. Hak prerogatif presiden bukan seperti tempat tidur Procrustes.

Jangan salah paham. Berterus terang menginginkan kursi menteri sebanyak-banyaknya atau terbanyak kiranya perkara yang baik daripada menjadi ganjalan politik menahannya. Biarlah keinginan mendapat kursi menteri mengalir sederas-derasnya sehingga tiada dusta di ruang publik.

Perbincangan terbuka menginginkan kursi menteri, bahkan sampai pada jumlah kursi yang diinginkan, menunjukkan betapa partai politik (tertentu) peduli kepada kekuasaan dan kepentingan-kepentingannya sendiri. Manuver macam ini memudahkan publik membacanya, pun kelak memudahkan publik untuk ‘niteni’ (Jawa) setelah kursi menteri sebanyak-banyaknya atau terbanyak diperoleh dan pemerintahan dijalankan.

Dipandang dari optik konstitusi, kiranya ada desakan bagi hadirnya ‘terjemahan baru atas hak prerogatif presiden’. Hak itu ialah hak yang wajib dinegosiasikan kepada partai pengusung presiden terpilih, bahkan didesak secara resmi dan terbuka melalui kongres partai untuk memberi kursi menteri proporsional sesuai kekuatan partai pengusung di DPR. Dalam bahasa yang terang benderang partai pengusung peraih suara terbanyak dalam pileg agar diberi kursi menteri terbanyak.

Kebesaran seorang presiden (terpilih) bukan hanya dalam kecanggihannya bernegosiasi politik. Orang memilih Jokowi karena orang tahu dia tidak akan memilih jalan yang mudah, yakni membagi-bagi kursi menteri seperti membagi-bagi nasi goreng yang memuaskan hasrat dan bikin senang partai pengusung.

Presiden terpilih Jokowi ialah pemimpin yang berani menghadapi tekanan dan mampu mengatasinya. Dia telah menunjukkannya dalam jilid I pemerintahannya. Contohnya, dia berani membubarkan HTI. Kenapa dia berani? Dia berani karena dia tegak di atas konstitusi dan demi konstitusi.

Karena itu, saya percaya bahwa sekalipun muncul manuver ‘terjemahan baru hak prerogatif presiden’ kiranya tidak bakal membuat presiden Jokowi kehilangan optik orisinal dalam melihat makna hak prerogatif presiden.

Lagi pula sebaiknya orang, termasuk partai pengusung, mengingat kebersyukuran yang utama bahwa Jokowi dipilih rakyat secara langsung. Bukan dipilih partai pengusung yang punya kursi di MPR. Kiranya inilah moralitas politik tertinggi, suara rakyat harus dijaga, dihormati. Bukankah sekalipun banyak partai dan partai terbesar turut mengusung capresnya belum tentu terpilih?

Dalam moralitas politik tertinggi itu sebetulnya kedudukan hak prerogatif presiden jauh lebih kuat karena rakyat langsung memberi hak itu kepada presiden terpilih. Dalam pengertian ini lahirnya ‘terjemahan baru hak prerogatif presiden’, yakni hak yang dapat dinegosiasikan, bahkan didesakkan sesuai keinginan partai pengusung, justru merupakan pukulan jab bagi demokrasi langsung.

Sekali lagi, hak prerogatif presiden bukan seperti tempat tidur Procrustes, yang menurut partai pengusung terlalu pendek atau terlalu panjang sehingga perlu ditarik atau dipotong. Hak prerogatif presiden ialah hak yang menurut konstitusi pas untuk siapa pun presiden yang dipilih rakyat. Pas, tidak terlalu pendek, tidak terlalu panjang. Pas untuk SBY, pas untuk Jokowi, pas juga untuk Prabowo kalau dia yang terpilih.

Dalam optik hak prerogatif presiden itu sesungguhnya hal yang baik bila ada partai pengusung yang tidak meminta kursi menteri. Juga bukan soal, bukan masalah baginya, bila tidak mendapat kursi di kabinet. Itulah sikap kawan sejati, berkawan di dalam pemerintahan, berkawan pula di luar kabinet.

Pertanyaan yang kerap muncul, apakah ada partai macam itu? Izinkan saya kembali menjawabnya, bukan mustahil Partai NasDem mengambil pilihan itu.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.