Kultur Imigran untuk PLN

334

SETUJUKAH Anda kita impor direktur utama PLN? Saya setuju. Kenapa? Kayaknya kita tidak mampu membenahi PLN.

Apakah jawaban publik bila hal itu ditanyakan kepada 4.015 responden? Spekulatif besar kemungkinan jawaban mereka tajam pro dan kontra. Tidak ada suara bulat.

Berbeda kiranya bila pokok pikiran serupa, impor CEO asing, ditanyakan kepada warga Singapura. Kebanyakan mereka bakal setuju. Apa buktinya?

Survei yang dilakukan Institute of Policy Study (IPS) menunjukkan hampir 9 dari 10 warga negara Singapura dan permanent residents (87%) setuju bahwa banyak yang dapat dipelajari dari kultur imigran.

Sebanyak 90% mengatakan hal yang baik hidup bertetangga dengan orang yang berasal dari negara berbeda. Sebanyak 72% suka berinteraksi dengan imigran baru.

Survei IPS itu dilakukan selama lima bulan (Agustus 2018-Januari 2019), melibatkan 4.015 responden. Hasilnya diumumkan akhir bulan lalu dan dipublikasikan koran The Sunday Times awal bulan ini (4/8).

Singapura penganut kebijakan pintu terbuka bagi imigran. Kebijakan itu diterapkan sejak 15 tahun lalu. Singapura bahkan secara khusus mengundang orang-orang berbakat kelas dunia untuk bekerja dan hidup di Singapura.

Contoh yang sedang hangat di Tanah Air ialah impor rektor asing. Singapura mengimpor ilmuwan kelas dunia menjadi rektor. Hal itu misalnya dilakukan Nanyang Technological University. Kini NTU peringkat 12 dunia.

Pandangan bahwa banyak yang dapat dipelajari dari kultur imigran; hal yang baik hidup bertetangga dengan orang berasal dari negara lain;  serta suka berinteraksi dengan imigran baru; menunjukkan pikiran dan hati orang Singapura terbuka kepada kemajuan. Dalam perspektif itu tidak mengherankan bila dalam berbagai cabang kehidupan dan dinilai dengan berbagai ukuran Singapura terus berada di kelas atas dunia.

Sebaliknya, kita menyempitkan hati dan pikiran kita sendiri seperti katak masuk dalam tempurung. Maaf jika terlalu keras. Katak dalam tempurung itu antara lain diekspresikan dalam frasa ‘putra daerah’.

Bahasa yang dipakai macam-macam, sesuai lokalitas, seperti pilihlah ‘wong dewek’. Pikiran sempit macam ini tidak hanya terjadi dalam pilkada, melainkan juga dalam memilih anggota DPR yang sesungguhnya memilih legislator nasional.

‘Belajar dari kultur imigran’, kiranya juga merupakan misi yang tersirat ketika kita gencar melakukan transmigrasi di masa Pak Harto. Tapi, sekarang, di masa demokrasi ini, menyedihkan bahwa ada anak bangsa sendiri yang telah bermukim puluhan tahun di suatu lokasi sebagai transmigran diusir penduduk yang menyebut dirinya ‘penduduk asli’. Penduduk asli itu seakan bukan anak bangsa Indonesia.

Sejujurnya terjadi paradoks serius dalam kita berdemokrasi. Kebebasan menggunakan hak pilih dan kebebasan mencalonkan diri dalam pemilu/pilkada dihadapkan dengan kekerdilan berbangsa dan bernegara yang diciutkan pikiran dan aspirasi indigenous.

Membandingkan ekspresi penduduk asli atau putra daerah itu dengan ekspresi orang Singapura terhadap imigran, sebagaimana ditunjukkan hasil survei IPS, rasanya bikin kita tahu diri betapa cetek pandangan kita baik ‘ke dalam’, maupun ‘ke luar’.

Kiranya kita perlu mengubah pandangan cetek itu. Banyak yang dapat dipelajari dari kultur imigran. Kita perlu mengimpor imigran secara selektif dan terencana demi kemajuan bangsa. Bukan hanya impor rektor universitas, melainkan juga impor direktur utama PLN agar listrik dapat menyala selama-lamanya.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.