Tanda Tangan Presiden

240

TERBETIK berita Presiden Jokowi enggan menandatangani pengesahan UU MD3. Kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Presiden kaget mengenai pasal-pasal kontroversial dalam UU itu, antara lain orang yang mengkritik DPR dapat dipidanakan. UU itu tidak disetujui dengan suara bulat di DPR.

Dengan alasan masing masing, NasDem dan PPP menolak UU itu. Mereka walk out. Walk out bukan perkara baru di DPR. Pun bukan perkara baru Pesiden tidak menandatangani pengesahan UU. Akan tetapi, belum tentu Presiden tidak menandatangani itu merupakan puncak sikap penolakan pemerintah yang telah ditunjukkan selama pembahasan RUU.

Publik tahu DPR tidak selalu bekerja berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat. Wakil rakyat di situ tidak selalu punya kesabaran intelektual untuk menimbang secara mendalam argumentasi penolakan atau ketidaksetujuan terhadap sebuah RUU. Tidak kecuali dalam hal revisi UU MD3, yang berlaku suara terbanyak yang menang.

Pertanyaannya, dalam urusan pembahasan RUU itu di manakah posisi Presiden yang di ujung urusan menandatangani pengesahan UU? Pembuat UU ialah pemerintah dan DPR. Namun, tidak pernah dan tidak perlu Presiden sendiri yang hadir di dalam pembahasan RUU dengan DPR. Pemerintah selalu diwakili menteri.

Kalau sampai Presiden kaget setelah RUU disetujui DPR, apakah yang terjadi? Pertama, sang menteri mungkin tidak lapor Presiden. Semula saya mengira kemungkinan itu lebih merupakan prasangka buruk saya. Karena itu, sebaiknya saya membuangnya jauh-jauh dan dalam-dalam ke laut.

Ternyata, itu benar. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dengan jujur mengakui bahwa dia tidak sempat melaporkan kepada Presiden Jokowi bahwa ada beberapa pasal kontroversial dalam UU MD3. Kedua, sang menteri menempatkan posisinya sesuai substansi pokok RUU, yaitu domain siapa, pemerintah atau DPR. UU MD3, sesuai namanya Undang Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, tentu lebih merupakan domain DPR.

Karena itu, sang menteri melihatnya dari pinggiran saja. Ketiga, posisi politik sang menteri. Tentu saja Menteri Yasonna gembira dengan revisi UU MD3, yang memberi kursi pimpinan untuk partai pemenang pemilu, yakni partainya, PDI Perjuangan. Dari posisi politik itu kiranya jelas dia tidak akan walk out.

Bandingkanlah dengan sikap yang diambil Mendagri Tjahjo Kumolo dalam pembahasan RUU Politik, khususnya menyangkut membela dan mempertahankan ambang batas 20% untuk partai dapat mencalonkan presiden. Dia berkali-kali menyatakan walk out bila ambang batas itu tidak disetujui.

Ambang batas 20% itu tidak hanya keinginan PDIP, partainya Menteri Tjahjo Kumolo, tetapi juga keinginan semua partai pendukung pemerintahan Jokowi. Presiden pun tegas dalam posisi itu. Seandainya ambang batas itu tidak disetujui DPR, saya pikir Presiden pun enggan menandatangani pengesahannya sebagai UU.

Seperti diketahui, perihal ambang batas 20% itu dibawa ke MK untuk di-review, tetapi MK tidak mengabulkannya. Presiden Jokowi sebaiknya tidak menandatangani revisi UU MD3 yang di dalamnya terdapat pasal yang mengebiri kebebasan berpendapat. Presiden tidak menandatanganinya demi menghormati hak warga untuk mengktitik DPR sekalipun hal itu tidak berdampak pada pengesahan RUU itu sebagai UU.

Konstitusi hasil amendemen memang menjadikan DPR tiran dalam pengesahan RUU. Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 hasil amendemen kedua menyatakan dalam 30 hari semenjak RUU telah disetujui tidak disahkan Presiden, RUU itu sah menjadi UU dan wajib diundangkan.

Tentu saja Presiden dapat mengeluarkan perppu, tetapi hal itu bakal mengundang sengkarut pendapat perihal terpenuhi tidaknya ‘hal ihwal kegentingan yang memaksa’. Presiden dapat dinilai diktator, padahal perppu dibuat justru untuk menegakkan demokrasi.

Jalan paling lempeng ialah menyerahkannya kepada kewarasan anak bangsa untuk membawanya ke MK. Sebuah urusan yang menunjukkan bahwa kita sepertinya kanak-kanak abadi dalam berkonstitusi sehingga selalu memerlukan sang pengawal konstitusi untuk meluruskannya.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.