Fakta Lebih Baik ketimbang Mimpi

288

JUDUL itu seperti nasihat. Bukan. Itu pendirian Winston Churchill, salah satu kualitas yang bikin dia menjadi pemimpin besar. Pendirian itu kiranya berlaku untuk siapa pun yang disebut atau mau menjadi pemimpin besar. Churchill meninggal pada 24 Januari 1965. Tiga puluh enam tahun kemudian (2001), Jim Collins menjadikan pendirian Perdana Menteri Inggris itu sebagai salah satu resep untuk mengubah pemimpin baik menjadi pemimpin hebat (good to great).

Dalam ruang lingkup pemerintahan, saya lebih memilih sebutan pemimpin besar, yang membedakannya dari pemimpin hebat, dalam ruang lingkup privat/korporasi. Konosuke Matsushita pemimpin hebat dalam industri, Lee Kuan Yew pemimpin besar dalam pemerintahan.

Akan tetapi, yang disebut ‘besar’, hemat saya, punya timbangannya sendiri.
Pengecualiannya, yang mahabesar ialah yang tidak mungkin ditimbang kebesarannya. Selebihnya ada timbangannya masing-masing.

Menimbang kebesaran yang mahabesar, Sang Pencipta, dalam arti mengukurnya, samalah mengukur kewarasan si penimbang. Besar kemungkinan hasilnya kurang waras.

Karena tiap yang ‘besar’ itu punya timbangannya sendiri, pendirian ‘fakta lebih baik ketimbang mimpi’ itu dapat diterapkan pemimpin pemerintahan, terlepas dari ukuran besarnya. Lurah itu pemimpin besar di kelurahannya sekalipun di kelurahan itu tinggal pemimpin besar lainnya, presiden RI.

Dalam kenyataan kiranya banyak pemimpin tidak menjadi pemimpin besar akibat memilih bermimpi ketimbang menghadapi fakta. Itu bisa terjadi pada lurah di suatu kecamatan hingga ‘lurahnya’ negara. Sebuah laporan yang baik-baik dan diterima baik-baik menunjukkan bahwa sang pemimpin, penerima laporan itu, sedang bermimpi yang baik-baik. Isi laporan tidak diperiksa dan diverifikasi di lapangan, apakah fakta atau ilusi, kenyataan atau fantasi.

Pemimpin macam itu senyatanya tengah menegakkan pendirian sebaliknya, yakni mimpi lebih baik ketimbang fakta. Pertanyaannya, kenapa pemimpin tidak menerapkan pendirian Churchill bahwa fakta lebih baik daripada mimpi? Jawabnya macam-macam. Ada yang malas ke lapangan, tapi rajin bermimpi.

Ada yang tidak berani menghadapi fakta buruk. Karena itu, mereka memilih bermimpi buruk daripada berhadapan dengan fakta buruk. Apa pun pangkalnya, lari dari kenyataan buruk tentu tidak membuat orang menjadi pemimpin besar.

Pemimpin besar berpendirian tidak boleh ada yang menghalangi berita buruk sampai kepadanya, bahkan dalam bentuknya yang paling jelek.

Sekali lagi, itulah Churchill.Ashley Jacson, profesor sejarah di King’s College London, satu dari banyak penulis biografi Churchill, mendeskripsikan sebuah episode yang menunjukkan pendirian Churchill itu. “Lagi dan lagi, dia mengambil sebuah dokumen yang dia tidak familier, dan mengajukan pertanyaan dalam nada orang yang telah berulang membaca seluruhnya, dan menemukan kelemahan kritis di dalam laporan itu.

‘What about this!’, katanya seraya memandang tajam ke sekeliling ruangan.” What about this! Sang pemimpin menemukan kelemahan kritis. Fakta buruk.

Akan tetapi, hal itu indah bagi pemimpin besar. Fakta buruk itu lebih ‘indah’ daripada mimpi indah. Apa yang disebut sebuah koran sebagai tragedi Kosambi kiranya tidak terjadi jika pendirian ‘fakta lebih baik ketimbang mimpi’ diterapkan Pemerintah Kabupaten Tangerang.

Pabrik kembang api berbatang kawat di situ terbakar, 49 orang meninggal. Sebelumnya, laporan perusahaan itu diterima begitu saja, tidak pernah diperiksa di lapangan. Laporan dianggap baik-baik saja. Tragedi terjadi, yaitu fakta terburuk, manusia mati terpanggang demi membuat kembang api yang pada waktunya dibakar indah dalam kegembiraan.

Paradoks, nyeri dan duka kepublikan di situ, yang dapat terulang terjadi di kabupaten/kota mana pun di negeri ini, bila para pemimpin pemerintahan, termasuk kepala dinas, tidak berpendirian bahwa fakta lebih baik daripada mimpi.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.