Pidato Anies Baswedan

273

KEHEBOHAN di ruang publik gara-gara penyebutan pribumi menggelitik saya untuk membaca teks pidato pertama Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Kiranya di situ dapat disimak apa maunya Anies. Membaca teks pidato sedikit atau banyak berbeda dengan menonton (melihat dan mendengar) pidato.

Untuk pidato seorang Anies, saya lebih memilih membaca teksnya daripada menontonnya karena dia tergolong orang yang menata gaya dalam berekspresi. Gaya hasil penataan diri itu dapat menyembunyikan ataupun melebih-lebihkan hal ihwal. Anies bukan orang yang gagap dalam menulis.

Pidatonya sebagai gubernur baru itu tentu ditulis sendiri. Bukan karya ghostwriter. Seandainya pun menggunakan ghostwriter, tentulah isinya, kalimat demi kalimat, akur dengan keinginan Anies. Pidato itu dihiasi kutipan peribahasa daerah. Jakarta memang melting pot. Di permukaan dan selintas, kutipan itu kiranya punya relevansi. Dari awal pidato hingga penutup, Anies mengutip peribahasa Batak, Madura, Aceh, Minang, Banjar, dan terakhir Minahasa.

Tidak semua pepatah daerah itu konsisten dikutip, dalam bahasa aslinya. Pepatah Aceh, contohnya. Dalam pidato Anies mengambil maknanya saja, yaitu ‘Cilaka rumah tanpa atap, cilaka rumah tanpa guyub’, yang mungkin lebih mirip terjemahannya ketimbang maknanya. Sebab yang menjadi makna ialah pentingnya persatuan yang dalam pidato itu dimaksudkan sebagai elaborasi sila kedua Pancasila.

Yang amat mengherankan ialah Anies sama sekali tidak menyentuh Betawi. Sepatah kata pun Betawi tidak ada dalam pidato, apalagi mengutip pepatah Betawi atau maknanya. Dalam pidato itu disebut era Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, hingga kini Jakarta, tapi di mana Betawi?

Maaf, terlalu lancangkah saya mengatakan gubernur baru ini sebetulnya belum paham benar perihal Jakarta, termasuk asal usul dan akar-akarnya? Yang jelas ia terlalu sombong untuk eksplisit mengakui legasi Ali Sadikin dan Ahok, sebagai benchmark. Ia menyamaratakan legasi dengan cara menggeneralisasikan legasi semua gubernur Jakarta.

Hal itu menimbulkan kekhawatiran bahwa Gubernur Anies Baswedan kelak hanya akan meninggalkan legasi yang umum atau ‘rata-rata’ saja. Simaklah pernyataan general dalam pidatonya, berikut ini. “Dalam sejarah panjang Jakarta, banyak kemajuan diraih dan pemimpin pun datang silih berganti.

Masing-masing meletakkan legasinya, membuat kebaikan dan perubahan demi kota dan warganya. Untuk itu kami sampaikan apresiasi dan rasa terima kasih kepada gubernur dan wakil gubernur sebelumnya, yang turut membentuk dan mewarnai wujud kota hingga saat ini.” Sungguh sebuah pernyataan datar dan basa-basi, tidak berani menyebut ‘ukuran sejarah’ era seorang pemimpin.

Terus terang, saya berulang membaca teks pidato pertama Anies itu dan tidak terhindarkan kesan, pidato itu hampa makna kepublikan dan hampa konsistensi. Hampa makna kepublikan karena sila-sila Pancasila dalam pidato itu kembali dibahasakan ‘sebagaimana seharusnya’.

Hampa konsistensi karena pengutipan pepatah daerah dalam pidato itu lebih tempelan belaka. Hanya gaya dalam penuturan, yang sengaja diekspresikan dalam pidato pertama yang bersejarah. Pidato itu malah menuai kecaman karena menyebut pribumi. “Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme.

Kini telah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri.” Apa relevansinya ‘kini’ di bulan Oktober, sekarang ini, bukan di bulan Agustus, bulan proklamasi? Dalam satu nada, semua itu dikaitkan Anies dengan pernyataan, jangan sampai terjadi di Jakarta ini, itik yang bertelur, ayam yang mengerami. Seseorang yang bekerja keras, hasilnya dinikmati orang lain.

Maaf, tahukah Anies mengeram itu sebuah kerja keras, perlu 28 hari? Bahwa menetaskan telur itik lebih lama daripada menetaskan telur ayam? Setidaknya Anies lupa perspektif industri peternakan, pakai mesin penetas. Sebuah bukti pengutipan pepatah Madura itu lebih sebagai gaya, tanpa pemahaman perihal pengeraman dan penetasan serta penyesuaiannya dengan zaman.

Anies bahkan mendulang air, dengan mengangkat perihal pribumi. Orang lalu didorong untuk membuka asal usul keturunan, yang memercik mukanya sendiri. Dalam konteks pemikiran, ia bahkan ‘menista dirinya sendiri’. Bukankah ia gembar-gembor merawat tenun kebangsaan?

Beralasan pribumi itu diucapkan dalam konteks kolonialisme hanyalah pembenaran post factum pidato dan dapat dinilai sebagai penghinaan terhadap kecerdasan publik dalam membaca perkara yang tersirat dalam yang tersurat, dalam konteks kekinian.

Gara-gara menyebut pribumi itu ia dilaporkan ke kepolisian dengan dugaan melanggar peraturan perundang-undangan. Sebuah pelajaran serius untuk sang gubernur agar ia tidak bergaya dalam nada kesantunan, tapi terjerat hukum, karena tidak membaca undang-undang.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.