Hoaks di Facebook

270

INI fakta, berita bohong (hoaks, fake news) paling banyak diproduksi dan disebarluaskan melalui Facebook jika dibandingkan dengan media sosial lain. Itu terjadi di Ameriak Serikat dan itu juga kiranya terjadi di negeri ini. Facebook tidak hanya platform yang paling banyak dipakai untuk berita bohong, tetapi juga untuk ujaran kebencian.

Polri telah menangkap sindikat penyebar kebencian Saracen dan terus mendalami pihak-pihak yang memesan ujaran kebencian itu, khususnya melalui Facebook. Di AS berita bohong melalui Facebook telah menjadi komoditas yang berbahaya bagi demokrasi. Padahal, itu negara embahnya demokrasi.

“Saya pikir Donald Trump berada di Gedung Putih karena saya,” kata Paul Horner, 38, penulis berita bohong via Facebook kepada the Washington Post (17/11/2016). Tanpa mengecek fakta, pendukung Trump percaya begitu saja apa yang ditulis Paul Horner dan menyebarkannya. “Saya dapat menulis hal yang paling gila tentang Trump, dan orang memercayainya,” tambah Paul.

Dalam sebulan Paul mendapat US$10 ribu (sekitar Rp133 juta) dari Adsense. Adsense ialah program kerja sama periklanan melalui media internet yang diselenggarakan Google. Orang dapat mempelajari via Youtube, bagaimana mendapatkan uang melalui Facebook dan Google Adsense. Penghasilan penulis berita bohong itu menggiurkan.

Juga di sini. Menurut harian ini, ketua grup Saracen, Jasriadi, yang mengunggah posting-an tulisan atau meme yang mengandung unsur SARA, mendapat honor Rp10 juta per bulan. Setelah pilpres AS 2016, berbagai studi dilakukan mengenai berita bohong melalui media sosial.

Hasilnya, (1) 62% orang AS dewasa mendapat berita dari media sosial, (2) berita bohong paling populer melalui Facebook, (3) banyak orang yang melihat berita bohong itu memercayainya, (4) diskusi berita bohong paling banyak cenderung menyukai Trump ketimbang Hillary Clinton, (5) dengan menggabungkan semua itu, sejumlah komentator berpandangan tanpa pengaruh berita bohong di Facebook, Trump tidak bakal terpilih menjadi presiden (Hunt Allcott dan Matthew Gentzkow 2017).

Berita bohong via Facebook tidak hanya dalam hal pilpres. Di Inggris beredar berita bohong iming-iming voucer berhadiah. Misalnya, berita bohong voucer 1.000 pound sterling (Rp17 juta lebih) dalam rangka ulang tahun supermarket Tesco. Bagaimana dengan Facebook di negeri ini? Pada 2016 ada 76 juta pengguna Facebook, nomor empat terbesar di dunia, naik 8 juta dari 68 juta pengguna pada 2015.

Jumlah itu menunjukkan betapa hebat pengaruh buruk Facebook bila digunakan sebagai medium berita bohong dan ujaran kebencian. Apa tanggung jawab Facebook? Kata pengamat media Agus Sudibyo dalam WA kepada saya, “Apakah adagium ‘isi di luar tanggung jawab kami, kami hanya menyediakan platform’ berlaku di sini?”

Jawab Agus, dalam kasus semacam Saracen, Facebook harus bertanggung jawab karena memanfaatkan penggunanya untuk mendapatkan behavioral data dan behavioral surplus (harga saham dan keuntungan). ‘Isi di luar tanggung jawab percetakan’ berlaku karena percetakan tidak menjadi distributor yang menyebarluaskan konten surat kabar.

Analogi itu tidak berlaku untuk media sosial karena sang medium sekaligus distributor. Facebook jelas menangguk keuntungan periklanan dari Adsense, termasuk dari berita bohong dan ujaran kebencian. Pada kuartal II 2017 Facebook meraih US$9,16 miliar (sekitar Rp189 triliun) dari advertensi, naik 47% dari kuartal yang sama tahun lalu.

Pada akhir Juli lalu pengguna aktif Facebook setiap hari mencapai 1,32 miliar di seluruh dunia. Facebook berjanji mengatasi perihal berita bohong yang dibahasakan pemiliknya, Mark Zuckerberg, sebagai ‘misinformasi’. Terakhir, Facebook berjanji memblokir iklan dari halaman yang berulang menyebarkan berita bohong.

Saya pikir janji yang dapat berakibat merosotnya pendapatan iklan perusahaan triliunan rupiah tidak dapat dipercaya sepenuhnya. Karena itu, ada baiknya dalam menghadapi semacam kasus Saracen di masa depan, bukan hanya Polri yang bertindak menangkap pembuat/pemesan/cukong berita bohong dan ujaran kebencian.

Pemerintah sesekali kiranya perlu memberikan ‘pelajaran’ untuk beberapa hari ‘melarang’ Facebook. Alasannya, setiap hal itu dilakukan sejumlah negara (Bangladesh, India, Iran, Inggris, Malaysia, Mesir, dan Vietnam). Saya menentang sensor preventif ataupun represif, tapi media sosial tidak punya reporter/redaktur yang mengecek fakta dan pemimpin redaksi yang dapat dimintai pertanggungan jawab etik ataupun hukum.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.