Korupsi di Birokrasi

271

KPK menangkap kakap di jajaran birokrasi, tepatnya di pusat pemerintahan.

Kakap itu ialah Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Antonius Tonny Budiono, dengan barang bukti juga kelas kakap, uang senilai Rp18,19 miliar dan empat kartu ATM yang salah satunya bersaldo Rp1,174 miliar.

Sebelumnya tertangkap tangan Sugito, Irjen Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Ia diduga menyuap auditor BPK agar laporan keuangan anggaran 2016 kementerian itu mendapat opini wajar tanpa pengecualian.

Korupsi yang pertama layak ditengarai untuk memperkaya diri sendiri sang dirjen.

Uang dikeruk diduga antara lain dari anggaran proyek pengerukan Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang.

Tonny punya harta yang dilaporkan Rp2,7 miliar.

Sekalipun orang berandai-andai ‘cuma’ segitu yang dilaporkan ke KPK, untuk ukuran kantong pegawai negeri sipil yang semata hidup dari pendapatan yang halal, kiranya jumlah harta itu telah tergolong aduhai.

Bahkan terdengar suara rakyat kebanyakan, sudah punya uang sebanyak itu masih belum puas, masih korupsi sampai tertangkap KPK.

Sebaliknya kasus yang kedua setidaknya di permukaan tiada keinginan sang irjen untuk memperkaya diri sendiri, tapi untuk memperkaya diri orang lain, yaitu aparat BPK.

Suap dilakukan malah demi citra bagus Kementerian Desa PDTT mendapat penilaian wajar tanpa pengecualian dari BPK.

Menteri Desa PDTT Eko Putro Sandjojo membahasakan sang irjen, Sugito, sebagai sosok sederhana. Rumahnya di gang kecil.

Hati kecil menteri semula tidak percaya, “Kalau Pak Irjen terkena masalah ini.”

Akan tetapi, apa pun motif dan apa pun tingkat kekayaan serta kehidupan mereka masing-masing, dirjen dan irjen itu sekarang sama-sama menjadi tawanan KPK dan sama-sama menimbulkan keprihatinan bahwa di puncak karier birokrasi pejabat masuk penjara.

Bagi kebanyakan orang, jabatan itu bahkan baru diraih ‘mendekati’ pensiun.

Memang, jabatan dirjen, irjen, dan sekjen, seyogianya diraih setelah menempuh perjalanan karier yang panjang dengan dedikasi dan kinerja yang mumpuni.

Itu puncak karier dalam jajaran birokrasi. Jabatan di atasnya (menteri) merupakan jabatan politik dan kian langka dari jajaran petinggi birokrasi diangkat presiden menjadi pembantunya di kabinet.

Tonny, misalnya, berkarier di Kementerian Perhubungan sejak 1986, atau 31 tahun, tapi menyedihkan penerima kehormatan Satya Lencana itu mengakhirinya tragis di tangan kekuasaan KPK.

Apa makna semua itu?

Pejabat tinggi birokrasi tertangkap basah korupsi, hemat saya, perlu dibaca sebagai pertanda reformasi birokrasi masih jauh panggang dari api.

Masih jauh, sekalipun cukup lama kabinet punya kementerian dengan nomenklatur yang eksplisit menyebut reformasi birokrasi, yaitu Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Kementerian itu mendefinisikan reformasi birokrasi ‘pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya manusia aparatur’.

Ia dilaksanakan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Yang baik itu sudah pasti bersih dari korupsi.

Berdasarkan semua rumusan itu, setidaknya dalam konteks pencegahan korupsi di jajaran birokrasi, kiranya tidak berlebihan mengatakan sesungguhnya reformasi birokrasi gagal.

Tentu ada kambing hitam yang seakan abadi, yaitu gaji yang rendah, yang dipatahkan dengan pesimisme bahwa berapa pun besarnya gaji tidak membuat birokrat berhenti korupsi.

Presiden Jokowi patut kecewa korupsi masih terjadi di jajaran puncak birokrasi di masa pemerintahannya, padahal ia sendiri telah menunjukkan dengan dirinya sendiri sebagai pemimpin yang bersih, hidup sederhana, dan melulu ingin bekerja demi bangsa dan negara.

Anaknya pun memilih menjadi pedagang martabak dan mengecam anak pejabat yang tiada malu meminta proyek.

Rupanya keteladanan kepala pemerintahan saja tidak cukup untuk mewujudkan revolusi mental di jajaran petinggi birokrasi.

Karena itu, baiklah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tidak bermuluk-muluk dengan definisi reformasi birokrasi atau pemerintahan yang baik, tetapi fokus bagaimana agar tidak ada lagi dirjen, irjen, dan sekjen kementerian yang tertangkap basah KPK.

Cukup sejauh itu dulu yang dilakukan sebelum yang di awang-awang melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.