38 Oxley Road

256

JUDUL itu alamat rumah bapak bangsa Singapura, Lee Kuan Yew, yang kini heboh karena anak-anaknya bersengketa mengenai rumah itu. Sengketa warisan itu tidak pernah terbayangkan menimpa anak-anak Lee Kuan Yew secara terbuka, terlebih karena melibatkan anak sulung, Lee Hsien Loong, PM Singapura (2004-sekarang).
Lee Kuan Yew punya tiga anak.

Semua lulus dari universitas terkemuka. Yang tertua, Lee Hsien Loong, alumnus Universitas Cambidge dan John F Kennedy School of Government, Universitas Harvard. Ia mengikuti jejak ayahnya menjadi perdana menteri. Anak kedua, Lee Wei Ling, perempuan, dokter spesialis saraf. Orang juga mengenalnya melalui tulisannya di The Straits Times, perihal kedokteran.

Jarang ia menulis tentang kehidupan keluarga Lee. Yang pernah ditulisnya, antara lain, bagaimana ayahnya merawat ibunya yang menderita stroke. Ling tidak menikah dan tinggal bersama orangtuanya. Anak yang ketiga Lee Hsien Yang. Ia lulusan Universitas Cambridge dan Universitas Standford. Ia berpangkat brigadir jenderal. Ia lalu bekerja selaku eksekutif puncak di Singtel, yang mayoritas sahamnya dimiliki Temasek Holdings, yang dinakhodai Ho Ching, istri Lee Hsien Loong, kakak iparnya. Lee Hsien Yang kemudian memilih berkiprah di perusahaan swasta.

Istrinya, Lim Suet Fern, lawyer terkemuka, juga lulusan Universitas Cambridge. Semua latar belakang yang cemerlang itu tiba-tiba tercela gara-gara harta warisan. Kehebohan itu pecah ke publik melalui media sosial (14/6). Dengan menggunakan akun Facebook-nya, Lee Hsien Yang melansir pernyataan publik bahwa ia dan kakaknya, Lee Wei Ling, ‘tidak percaya kepada PM Lee Hsien Loong dan khawatir dengan masa depan Singapura’.

Di bawah pernyataan itu publik diberi dua link (tautan), yaitu tautan untuk pernyataan yang lengkap dan untuk pernyataan yang telah diringkas. Pernyataan lengkap terdiri atas 6 halaman, sedangkan pernyataan pendek 2 halaman, untuk pers. Ada tiga perkara pokok dalam pernyataan itu. Pertama, sejak wafatnya Lee Kuan Yew pada 23 Maret 2015, PM Lee Hsien Loong menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadinya.

Dalam hal itu berperan istrinya, Ho Ching. Untuk apa? Jawabnya ialah pokok yang kedua, yaitu agar rumah di 38 Oxley Road dijadikan monumen. Padahal, itu tidak disukai ayah mereka. Ketiga, mereka tidak percaya kepada kakaknya, baik sebagai pribadi maupun sebagai perdana menteri, karena ia merusak nilai-nilai Lee Kuan Yew. Menurut pernyataan itu, pada 17 Desember 2013, Lee Kuan Yew membuat wasiat agar rumah itu diruntuhkan.

Bapak bangsa Singapura itu penentang monumen, terlebih buat dirinya. Satu-satunya yang boleh memakai namanya Lee Kuan Yew School of Public Policy. Ada juga yang menambahkan alasan lain, sang negarawan tidak ingin rumahnya menjadi beban keuangan pemerintah. Alasan lain, ia menghormati tetangga yang demi keamanan perdana menteri telah berkorban. Pemerintah tidak mengizinkan mereka membangun rumah tingkat.

Akan tetapi, PM Lee Hsien Loong justru ingin menjadikan rumah itu monumen. Dengan itu, menurut adik-adiknya, ia menangguk popularitas atas legacy ayahnya. Untuk apa popularitas itu? Demi kekuasaan, yaitu untuk anaknya, Li Hongyi, agar kelak terjadi ‘aristokrasi alamiah’. PM Lee Hsien Loong membantah tuduhan. Ia menyesali adik-adiknya membawa urusan pribadi ke ranah publik.

Katanya, berkaitan dengan wasiat, Lee Hsien Yang dan Lee Suet Fern telah memainkan peranan yang tak patut. Bahkan, katanya, sang ayah tidak tahu detail apa yang ditandatanganinya. Lee Kuan Yew dan istri, Kwa Geok Choo, menempati rumah di 38 Oxley Road sejak 1950 hingga wafat (2015). Pada 1954, di tempat itulah PAP (People’s Action Party) rutin rapat. Luasnya 1.120,5 m2. Letaknya dekat Orchard Road, pusat belanja tersohor. Nilainya mencapai S$30 juta (sekitar Rp288,2 miliar).

Survei dengan 1.000 responden, yang dipublikasikan 22 Desember 2015, menunjukkan 77% responden setuju dengan keinginan Lee Kuan Yew agar rumah itu diratakan dengan tanah. Para tetangga tentu happy rumah itu dirobohkan. Lee Hsien Yang setuju agar di situ dijadikan taman yang tenang. Kita tidak tahu siapa yang benar. Apakah anak sulung yang berkuasa ataukah adik-adiknya warga biasa. Yang kita tahu legacy sang ayah kini cacat. Sesungguhnya tidak ada moral baru di situ. Bukankah ribut warisan umumnya terjadi setelah orangtua meninggal? Yang ‘baru’ ialah rupanya perkara itu tidak kecuali menimpa keluarga negarawan. Dalam hal warisan, mereka manusia biasa.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.