Amien Rais

267

AMIEN Rais berada di ujung panggung sejarah (reformasi).

Apakah ia akan mengakhirinya dengan tinta emas? Atau sebaliknya, ia akan menutup lembaran sejarah hidupnya dengan catatan ‘miring’?

Di usia 73 tahun, ia harus menjawab dua pertanyaan itu.

Dalam bahasanya sendiri, menjawabnya ‘dengan jujur, tegas, apa adanya’.

Salah satu urusan pokok reformasi ialah menumbangkan rezim Orde Baru yang korup.

Kala itu Amien Rais berumur 54. Sembilan belas tahun telah berlalu. Banyak yang berubah.

Sekarang yang dihadapinya justru tuduhan ikut menikmati uang korupsi. Apakah ‘jujur, tegas, apa adanya’ masih sama dengan yang ‘dulu’ bersemayam dalam dirinya?

Hemat saya, apa yang dihadapi Amien Rais sekarang jauh lebih berat. Kenapa? Karena ia berurusan dengan kejujuran, ketegasan, apa adanya, dengan dirinya sendiri.

Bukan terhadap orang lain, bukan terhadap publik, bukan pula terhadap kekuasaan.

Bagaimana Amien Rais menghadapi orang lain, menghadapi kekuasaan, publik mengetahuinya, bahkan mengaguminya.

Menumbangkan Pak Harto yang sangat berkuasa, tentu saja hanya mampu dilakukan orang yang selain jujur, tegas, apa adanya, juga punya keberanian ekstra hebat.

Akan tetapi, menumbangkan kekuasaan satu perkara, berkuasa itu sendiri, perkara lain.

Amien Rais belum pernah sepenuhnya berkuasa. Ia pernah bertarung dalam Pilpres 2004, kalah telak, tersingkir dalam satu putaran. Padahal ia berharap masuk putaran kedua.

Partai yang didirikannya, PAN, pun tidak pernah meraih suara terbanyak.

Reputasi Amien Rais paling hebat ialah penumbang kekuasaan.

Setelah Pak Harto, melalui tekanan parlemen jalanan, lalu Gus Dur, sewaktu ia menjadi Ketua MPR.

Persoalan Amien Rais sekarang ialah menumbangkan tuduhan jaksa KPK.

Publik seyogianya berasumsi bahwa jaksa KPK punya fakta hukum.

Bukan omong besar. Sebaliknya, publik pun layak berasumsi, Amien Rais jujur dengan dirinya sendiri.

Bukan retorik dalam jumpa pers.

Maaf, kejujuran dan keberanian kiranya bukan dua kualitas yang selalu seiring sejalan.

Bahkan, bisa terjadi yang tergolong terburuk di dunia, yaitu berani untuk tidak jujur.

Bukan berani karena jujur.

Pernyataan tidak enak itu harus dikatakan terutama bila berkaitan dengan uang hasil korupsi. Apakah untuk korupsi diperlukan keberanian?

Atau malah sebaliknya, korupsi sebetulnya produk kejiwaan yang rapuh, yakni mengambil/menerima yang bukan hak?
Sesungguhnya sulit menyetujui perkataan, sesulit membantahnya, bahwa salah satu akar kejahatan ialah cinta uang.

Apakah Amien Rais cinta uang?

Saya percaya tidak. Buktinya, 10 tahun lalu ia membukanya ke publik, menerima dan mengembalikan uang dari Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri yang terbukti korupsi.

Amien Rais mengatakan ia tidak tahu uang itu berasal dari dana nonbujeter Departemen Perikanan dan Kelautan.

Uang yang sekarang sedang dihebohkan, katanya diperolehnya sebagai pemberian/kedermawanan Soetrisno Bachir.

Bukan berkaitan dengan aliran dana dari perkara pengadaan alat kesehatan yang menyebabkan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menjadi tersangka.

Apakah dalam perkara itu Amien Rais masih tidak cinta uang? Sebuah kepercayaan yang sebaiknya diteguhkan di pengadilan.

Caranya? Amien Rais sebaiknya minta KPK menjadikannya tersangka, atau KPK melakukannya.

Lalu, di pengadilan Amien Rais membuat kagum rakyat, menumbangkan semua tuduhan.

Sesungguhnya yang hendak dicontoh publik bukan tokoh yang kaya dalam harta, terlebih diperoleh dengan serong, melainkan yang kaya dalam kebajikan.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.