Penyederhanaan Rekapitulasi Suara

298

PANJANGNYA perjalananan rekapitulasi suara hasil pemilu diakui sebagai salah satu potensi kecurangan. Makin banyak tempat persinggahan rekapitulasi, makin banyak ‘kebocoran’. Karena itu, perlu diapresiasi rencana DPR untuk memperpendek perjalanan rekapitulasi suara. Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum mengajukan dua opsi.

Pertama, penyederhanaan yang paling sederhana, hanya satu saja terminal rekapitulasi suara yang dihilangkan, yaitu kelurahan. Akibatnya, tidak ada lagi Panitia Pemungutan Suara (PPS). Dari TPS rekapitulasi suara dilakukan langsung di kecamatan oleh PPK. Manakah yang lebih garang melakukan kecurangan rekapitulasi suara, kelurahan atau kecamatan? PPS atau PPK?

Opsi pertama itu kiranya berpandangan bahwa kecamatan merupakan terminal yang lebih ‘aman’. Padahal, hemat saya, potensi kecurangan di kecamatan jauh lebih besar. Opsi yang kedua lebih berani, yaitu rekapitulasi langsung dilakukan di tingkat kabupaten/kota. Dua tempat perhentian rekapitulasi, kelurahan dan kecamatan, dilikuidasi, sehingga perjalanan rekapitulasi suara menjadi sangat pendek.

Opsi kedua itu bukan hanya menyembelih dua tempat berpotensi terjadinya kecurangan, tetapi sekaligus sangat mempercepat rekapitulasi suara untuk DPRD kabupaten/kota. Suara rakyat dari TPS langsung dibawa ke kabupaten/kota sehingga rakyat setempat dalam waktu supercepat jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya dapat mengetahui hasil penghitungan suara untuk kabupaten/kota.

Pertanyaannya, kenapa proses supercepat itu tidak diberlakukan juga untuk provinsi? Suara untuk DPR provinsi langsung dikirim dari TPS ke KPUD provinsi. Tidak ada lagi rekapitulasi suara untuk provinsi yang ‘menginap’ di kelurahan, kecamatan, dan KPUD kabupaten/kota. Dengan jalan pikiran yang sama, rekapitulasi suara untuk DPR dan pilpres dapat dilakukan langsung ke KPUD provinsi.

Bahkan, di masa depan yang tidak terlalu jauh, kiranya suara dari TPS tidak lagi menginap di mana pun, tapi langsung ke KPU. Hal itu dimungkinkan dengan penggunaan e-voting. Penggunaan teknologi modern dalam penyelenggaraan pemilu seyogianya mulai direncanakan, dianggarkan, dan dilaksanakan dengan menjadikan dua atau tiga daerah pemilihan sebagai percobaan.

Sebagai gambaran, di awal Republik ini berdiri (November 1951), pemerintah berani menyelenggarakan pemilu di Daerah Istimewa Yogyakarta yang dipandang sebagai percobaan untuk provinsi-provinsi yang lain. Terbentuklah DPRD DIY yang pertama untuk seluruh Indonesia. Penggunaan e-voting, misalnya, dapat juga dilakukan di DIY, Bogor, dan Bandung.

Modernisasi penyelenggaraan pemilu, penggunaan e-voting khususnya, diharapkan bisa meminimalkan tingkat kekhilafan manusia. Sudah tentu, tingkat kecurangan yang dilakukan peserta ataupun penyelenggara pemilu bisa dikurangi. Penggunaan e-voting itu kelak dapat dibayangkan semudah dan seakrab warga, selaku nasabah bank, menggunakan ATM sekarang ini.

Investasi yang besar dari segi anggaran, termasuk untuk pengamanannya, tetapi besar maslahatnya demi tegaknya pemilu yang jujur dan bersih. Dengan kecepatan penghitungan suara berbasiskan teknologi modern itu, pileg dan pilres diselenggarakan serentak, hasilnya pun bisa serentak diketahui rakyat.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.